Jumat, 05 September 2008

Pembohong Patologis

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 6 September 2008

Ada sejumlah pelajaran yang dapat ditarik dari konvensi Repubik/Demokrat di Amerika Serikat. Siapa tahu ada manfaatnya belajar dari AS demi kesuksesan Pemilu/Pilpres 2009.

Lagi pula demokrasi tak menunggu siapa pun karena bisa langsung dipraktikkan tanpa memedulikan usia negara. Tak ada bedanya AS (praktik sejak 1776) dengan kita yang baru kenal demokrasi tahun 1945.

Pelajaran pertama, konvensi bukan sekadar proses memilih capres untuk kalangan internal partai. Ia juga ajang menjual capres kepada pemilih independen dari berbagai kalangan.

Di AS, jumlah pemilih independen mencapai lebih dari separuh total pemilih terdaftar. Ambil studi kasus tahun 2004, dengan jumlah pemilih terdaftar sekitar 142 juta jiwa.

Menurut perkiraan, baik Republik maupun Demokrat mendapat ”suara pasti” masing-masing sekitar 30 juta. Kali ini pendukung Republik diperkirakan sekitar 28 juta, Demokrat antara 30 juta dan 35 juta. Jadi, total pemilih pasti kedua partai mencapai 58 juta-63 juta atau sekitar sepertiga dari total 142 juta pemilih terdaftar. Ada 70-an juta suara independen yang akan diperebutkan Barack Obama dan John McCain.

Tahun ini animo meningkat, tampak dari kenaikan jumlah pemilih sejak primaries Februari 2008. Jumlah yang memilih pada 4 November nanti diperkirakan bertambah minimal 10 persen dari tahun 2004 yang 125,7 juta (61,3 persen).

Tak mengherankan jika pidato Obama dan McCain mati-matian membujuk pemilih independen plus suara pasti dari partai lawan. Ingat, Presiden George W Bush menang pada tahun 2004 dengan 59 juta suara (51,1 persen) yang hampir separuhnya berasal dari pemilih independen/Demokrat.

Demografi politik di sini mirip dengan di AS, yakni besaran jumlah pemilih independen/ massa mengambang yang relatif sama. Jika merujuk pada hasil beberapa pilgub, jumlah itu bisa terdeteksi dari jumlah golput sekitar 40 persen.

Sejauh ini baru PDI-P yang mengadakan konvensi. Megawati Soekarnoputri, produk yang telah dijual berbulan-bulan tidak hanya ke kalangan PDI-P, tetapi juga diluberkan kepada berbagai kalangan independen. Sejumlah jajak pendapat membuktikan popularitas dia meningkat. Bukan itu saja, kehadiran Mbak Mega di sejumlah daerah juga ikut mendongkrak popularitas cagub dukungan PDI-P.

Harap bedakan dengan popularitas Yudhoyono yang mendapat keuntungan sebagai incumbent. Ia mendapat berbagai kemudahan mempertahankan popularitas karena, misalnya, aktivitasnya pasti diliput pers.

Masih ada waktu bagi capres lain menggelar konvensi. Ibarat telepon seluler, persiapan lebih awal lama-kelamaan akan ”memperkuat sinyal”.

Bagaimana dengan Partai Golkar yang tak berkonvensi? Pak Jusuf Kalla sebaiknya berpikir ulang karena konvensi partai pemenang Pemilu 2004 ini berpotensi tentu akan mendongkrak citranya sebagai capres.

Harus diakui manuver-manuver politiknya ampuh. Namun, sifatnya tetap terselubung dan kurang diketahui umum.

Calon pemilih independen sebatas menebak-nebak apa gerangan intensi Pak JK. Agar sukar mengharapkan mereka mengubah pilihan jika menunggu pengumuman resmi Pak JK tiga bulan sebelum pilpres.

Kenaikan popularitas pascakonvensi itulah yang menjadi pelajaran kedua dari AS. Setelah pidatonya yang bersejarah, popularitas Obama naik ke 49 persen (McCain 42 persen).

Dapat dipastikan, popularitas McCain pekan depan bertambah berkat pidatonya dan kejutan Sarah Palin. Itu sebabnya pilpres AS berlangsung makin ketat dan menarik karena kampanye tersisa dua bulan lagi.

Sebagian capres di sini ”malu-malu kucing” menjual dirinya sedini mungkin lewat konvensi. Ini sikap yang antiteori yang didasarkan pada kultur politik yang kurang rasional. Ada kecenderungan mentalitas malu- malu kucing itu ”malu tetapi mau”. Lihat iklan politik yang nilainya miliaran rupiah, tetapi gagal menjawab pertanyaan pokok: Anda mau jadi presiden atau enggak, sih?

Pelajaran ketiga dari pilpres AS, sikap tak jujur capres sungguh berbahaya. Hal ihwal yang berkaitan dengan kejujuran capres biasanya berkaitan dengan sejarah masa lalunya.

Di AS masa lalu jadi urusan penting untuk mengukur watak capres. Itulah sebabnya Obama buru-buru menyesal pernah terjebak kokain dan ganja, McCain merasa gagal sebagai suami pada pernikahan yang pertama.

Lihat bagaimana masa lalu Palin diteliti. Ia ternyata lahir sebagai Katolik dan pindah ke Pantekosta, ikut memengaruhi keputusan pemecatan anggota aparat keamanan yang mantan iparnya, dan memancing ikan tanpa izin. Suaminya pernah ditangkap karena menyetir sambil mabuk, putrinya hamil di luar nikah, anaknya yang baru lahir digosipkan sebagai cucunya. Tak sedikit capres mundur gara-gara berbohong tentang masa lalu masing-masing.

Rakyat AS tak mau lagi memilih presiden pembohong. Mereka lebih suka presiden yang punya berbagai kelemahan ketimbang memilih presiden yang ingin tampil serba sempurna.

Presiden yang ingin tampil serba sempurna tak lebih dari pembohong patologis. Ia tahu melakukan hal yang tidak pantas itu karena ingin membuat rakyat terkesan saja. Itulah Richard Nixon dan Presiden George W Bush. Itulah pelajaran terpenting bagi kita menjelang Pemilu 2009.

[ Kembali ]

Pemimpin Kelas Salon

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 6 September 2008
Oleh Mohamad Sobary

Keseimbangan alam dijaga oleh kekuatan serba dua, yang berpasang-pasangan, saling melengkapi, tetapi sering juga berlawanan: rendah-tinggi, hina- mulia, kotor-bersih, bengkok-lurus, pamrih-tulus, palsu-sejati.

Semua ukuran normatif itu memberi arah, ”kiblat” hidup. Tatanan pribadi maupun kolektif, di berbagai bidang lebih kurang juga ”berkiblat” ke situ.

Mengubah wajah

Di bidang politik, urusannya agak berbeda. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi membuat perbedaan itu menjadi lebih mencolok. Orang bisa bicara lebih meyakinkan tentang politik pencitraan: sebuah politik salon kecantikan yang mengurus make up, bedak dan gincu, untuk merebut posisi kepemimpinan.

Di sini kita terjebak ke dalam anggapan dan kesadaran palsu bahwa ”ilmu kulit” (polesan bedak dan gincu) itu ”penting”. Namun, jangan salah, para tokoh itu sengaja memalsukan kesadaran umum dan membiarkan kepalsuan berkembang demi keuntungan politik mereka.

Maka, suatu citra ”dibuat”. Ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi bisa ”membuat” seseorang tampak lebih unggul dari yang lain. Karena itu, dalam ”pilkada” atau ”pemilu” si unggul buatan dan palsu inilah yang menang.

Ilmu manipulatif itu bisa membuat seorang tokoh otoriter dan rasis menjadi seolah begitu demokratis dan peduli pada kemanusiaan. Tokoh yang tak tahu apa-apa tentang dunia anak seolah begitu protektif terhadap anak-anak dan tokoh yang berwatak sektarian, fanatik, dan memuja kekerasan, bisa ”dicitrakan” sebagai orang toleran, inklusif, dan akomodatif terhadap pluralitas kebudayaan.

Pendek kata, selain operasi plastik di dunia kedokteran yang bisa mengubah wajah manusia, ilmu komunikasi juga mampu memanipulasi jiwa dan perilaku manusia sesuai kehendak pemesan. Di sana-sini lalu tampil watak hipokrit yang difasilitasi media yang kelihatannya melek tetapi tertidur.

Kepalsuan demi kepalsuan perilaku para tokoh mendominasi kita setiap detik, setiap menit, setiap jam dalam hari-hari yang terpolusi iklan yang mengumbar kata-kata normatif, klise, dan bohong, disertai foto orang-orang narsistik yang dipajang di mana-mana, tetapi tak memberi inspirasi apa-apa.

Kita sedang memasuki peradaban dungu, yang memuja apa saja yang palsu. Kedunguan massal itu membuat kita lupa akan pentingnya sejarah. Kita tak lagi kritis membaca jejak mereka. Kita juga tak lagi merasa perlu bertanya bagaimana sebenarnya sejarah hidup orang-orang itu dan modal apa yang membuat mereka berani begitu jemawa?

Kini, mengapa seluruh bangsa bagai tersihir pesona kepalsuan dan memuja mereka yang pada masa lalu belum punya catatan apa pun dan tak pernah melakukan amal apa pun? Seolah mereka sama mulianya bagi kita. Padahal, rekam jejak masa lalu mereka begitu kelam dan menjadi musuh nurani bangsa karena secara sistematik pernah merusak sendi kehidupan yang dengan susah payah dibangun bersama? Selembar daun apakah yang kini sedang menutup nalar kritis seluruh bangsa sehingga kita begitu nerimo dinistakan seperti ini?

Citra buatan

Dalam hidup modern, yang gugup, tergesa-gesa, dan serba instan, seluruh kesadaran kita terbelenggu oleh ”citra” buatan itu. Lalu kita pun—selain lupa menengok sejarah mereka—tak sempat pula bertanya adakah tokoh ini cocok, atau bertentangan, dengan citra yang dibuatnya. Dan, sekali lagi, dalam pilkada dan pemilu yang dikotori politik uang, kita pun memilihnya sebagai pemimpin.

Haruskah kita memercayai kesimpulan yang tampak logis bahwa kini perkembangan kesadaran politik bangsa kita baru sampai tahap mengagumi foto, kata-kata, dan tampilan ”rapi jali” buatan salon yang memiliki selera kecantikan, tetapi sama sekali—dan dengan sendirinya—tak memiliki otentisitas pemikiran tentang pemimpin dan kepemimpinan?

Tidak. Nalar politik bangsa kita tak senaif itu. Di kalangan masyarakat pedesaan pun, orang tahu apa arti kepalsuan seperti itu. Di antara warga kota yang kurang terdidik dan hidup di lapis bawah secara sosial maupun ekonomi pun paham akan kesejatian pemimpin yang kira-kira dapat diandalkan untuk membuat hidup seluruh bangsa lebih baik.

Pendeknya kita tahu, politik ”pencitraan” itu barang palsu, sepalsu permainan panggung drama modern dan lenong, atau ketoprak. Tampilan ”rapi jali” bedak dan gincu itu bukan identitas sejati mereka.

Namun, tahukah kita, saat memilih tokoh macam itu dalam pilkada atau pemilu akan berakibat parah bagi kehidupan kita sendiri? Tahukah kita, dalam suatu ”momen pendek”—beberapa detik saat mencoblos dan menentukan pilihan—sebenarnya kita mempertaruhkan nasib bangsa?

Saya belum meneliti ke arah itu. Maka, saya beralih pada perilaku orang-orang yang menekuni ilmu pencitraan. Mereka menjadi konsultan, penasihat, atau tim sukses para calon, yang minta ”didandani” dan bisa mendadak kaya raya.

Persekongkolan antara mereka dan para tokoh yang bersedia berjualan wajah dan jiwa palsu itulah yang melahirkan salon-salon kecantikan yang lihai memoles citra pemimpin bangsa. Inilah era getir sejarah kita. Rakyat 200 juta dipimpin oleh ”pemimpin palsu” yang dipoles di salon-salon kecantikan yang tak mempunyai tanggung jawab politik maupun moral.

Inilah tragedi kita abad ini. Kita tertipu ilmu dan teknologi, yang berusaha memenuhi tuntutan integritas, hanya dengan polesan bedak dan gincu di salon kecantikan yang tak mungkin tahu malu.

Mohamad Sobary Direktur Eksekutif Partnership for Governance Reform

[ Kembali ]

Kamis, 04 September 2008

Pembangunan Bias Perkotaan

TAJUK RENCANA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 4 September 2008

Kondisi Indonesia dalam ”perangkap pangan” merupakan masalah serius, apalagi terkait kelalaian kita mengendalikan jumlah penduduk.

Ketergantungan kita pada impor katakanlah akibat libasan globalisasi. Krisis pangan ada di depan mata. Kita tidak sendirian, negara lain juga, tetapi jangan sampai membuat kita tidur nyenyak.

Prioritas ketersediaan bahan makanan cukup bagi warga negara sendiri, ibarat bagian dari survival of the fittest sebagai negara berdaulat. Tahun 2020, misalnya, Indonesia berpenduduk lebih dari 300 juta, negara lain juga kerepotan memberi warganya makan.

Selain kelalaian mengendalikan jumlah penduduk, tidak kalah parah menyangkut kesalahan kita mengambil pilihan. Meminjam istilah Prof Sediono MP Tjondronegoro, ”kita melakukan pembangunan bias perkotaan”, yang berakibat melebarnya kesenjangan perkotaan dan pedesaan.

Menurut Prof Sediono, modernisasi pertanian melahirkan kesenjangan penguasaan lahan di pedesaan dan kemampuan pertanian menyerap tenaga kerja. Surplus tenaga kerja harus ditampung di perkotaan. Kemiskinan berpindah dari desa ke kota.

Otonomi daerah sebetulnya memberi pemerintah daerah peluang mengembangkan kawasan. Uang dalam jumlah besar mengalir ke pedesaan. Namun, ketika kebijakan keliru telanjur menjadi bagian dari mindset, akibatnya di pedesaan tidak tercipta lapangan kerja.

Kota-kota berkilau. Pedesaan redup. Indonesia yang tidak menempatkan pertanian dalam arti luas sebagai sumber daya agraria terpuruk dalam menyediakan makanan bagi penduduknya.

Ketidakberpihakan pada agraria—negara agraris ingkari agraria—pun terlihat dari tingginya tingkat konservasi lahan pertanian. Lahan produktif pertanian beralih fungsi menjadi kawasan industri dan permukiman. Angka alih fungsi rata-rata 2,5 persen setiap tahun bukanlah angka kecil ketika dideret dalam jumlah puluhan tahun.

Tidak semua kebijakan dan program pembangunan sebelum reformasi itu buruk. Disemangati memberdayakan masyarakat desa lewat berbagai lembaga, kita hidupkan kembali institusi semacam posyandu, BKKBN, bimas, dan penyuluh pertanian.

Kita ubah mindset tentang pembangunan. Jadikan pertanian menjadi tumpuan pertumbuhan. Jangan biarkan petani berjudi sendirian dengan iklim dan dengan tengkulak. Petani butuh contoh konkret keberpihakan. Kejadian terakhir petani membuang gula di jalan (Madiun) mengingatkan ketidakberpihakan.

[ Kembali ]

Melawan Akal Sehat

TAJUK RENCANA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 4 September 2008.

Langkah Komisi Pemilihan Umum kembali menuai kritik. Kini, yang menjadi sasaran kritik adalah rencana mereka pergi ke luar negeri untuk sosialisasi!

Pihak KPU berdalih kepergian mereka ke 14 kota di sejumlah negara adalah amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, khususnya mengenai pembentukan Panitia Pemilihan Luar Negeri. Mereka akan pergi ke Kuala Lumpur, Beijing, New Delhi, Manila, Jeddah, Cairo, Cape Town, Sydney, Madrid, Paris, New York, Havana, Den Haag, dan Moskwa bersama sejumlah anggota staf.

Kritik terhadap rencana itu antara lain datang dari Badan Pengawas Pemilu dan sejumlah anggota DPR. Mereka berharap KPU lebih dulu berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaan rumah mereka di dalam negeri.

Kita memahami dan sependapat dengan kritik itu. Di tengah skeptisisme publik terhadap kinerja KPU, kita mempertanyakan sejauh mana sensitivitas dan rasionalitas politik anggota KPU ketika mereka tetap memutuskan pergi ke luar negeri dengan mengabaikan sama sekali kritik publik. KPU memang sebuah komisi negara yang mandiri, tetapi itu bukan berarti KPU bisa bertindak tanpa kontrol.

Meskipun KPU menegaskan potensi pemilih di luar negeri adalah 17 juta, tetapi berdasarkan data jumlah pemilih tetap pada pemilu presiden putaran II tahun 2004, jumlahnya sebanyak 458.198 pemilih. Jumlah itu tidak sebanding dengan potensi pemilih pada Pemilu 2009 yang diperkirakan mencapai 174 juta.

Menyelesaikan pekerjaan rumah untuk persiapan Pemilu 9 April 2009 sebenarnya lebih menjadi prioritas daripada melakukan sosialisasi di luar negeri. Daftar Pemilih Sementara (DPS) tetaplah menjadi sebuah problem klasik hampir pada setiap pemilu. Hasil audit LP3ES dan NDI paling tidak menunjukkan rendahnya tingkat akurasi sejumlah data pemilih dan besarnya potensi pemilih tidak terdaftar. Bahkan, diperkirakan lebih dari 36 juta pemilih tidak terdaftar.

KPU mengakui sosialisasi DPS tidak maksimal dilaksanakan karena keterbatasan anggaran. Akan tetapi, justru di sinilah pilihan KPU melakukan sosialisasi ke luar negeri, di tengah anggaran yang terbatas, terasa melawan akal sehat publik. Mengapa justru sosialisasi ke luar negeri yang lebih dikedepankan? Apakah tak bisa dilakukan dengan menggunakan kemajuan teknologi komunikasi?

Problem lain di luar sosialisasi DPS adalah verifikasi calon anggota legislatif yang berjumlah 11.888 orang dan membengkak menjadi lebih dari 12.000 orang, verifikasi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah yang juga belum rampung, dan pembentukan Panitia Penyelenggara Pemilu di dalam negeri yang belum semuanya selesai.

Kritik kita ketengahkan karena kita tidak ingin penyelenggaraan Pemilu 2009 berkurang kualitasnya hanya karena kurangnya persiapan di dalam negeri!

[ Kembali ]

Minggu, 24 Agustus 2008

Mungkinkah Jalan untuk Semua?

TOL
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 22 Agustus 2008

”Biasanya bulan kesembilan sudah hujan. Maka, sebelum bulan itu, gorong-gorong harus sudah selesai supaya air dapat mengalir dari selatan ke utara tol menuju sawah saya,” ujar Sarja, warga Desa Luwung Bata, Kecamatan Tanjung, Brebes, Jawa Tengah. Sawahnya tepat di tepi proyek Jalan Tol Kanci-Pejagan dan dia pun cemas tak mendapat air.

PT Semesta Marga Raya (SMR), selaku investor Tol Kanci-Pejagan (35 kilometer), menjadwalkan drainase selesai Oktober 2008. Bila jadwal bergeser, investor mungkin hanya perlu menambah ongkos. Sebaliknya, bagi Sarja, hal itu berarti pemiskinan.

Bila panen berhasil, Sarja berpotensi mendapat Rp 2,27 juta per bulan dari lahan sawah seluas 0,7 hektar (ha). Sekilas angka itu cukup besar. Namun, dengan dua masa tanam setahun, tentu saja Sarja harus berhemat.

Tol trans-Jawa memang mengonversi ribuan hektar lahan pertanian. Menyusuri proyek Tol Kanci-Pejagan, yang sedang masuk tahap pengerasan timbunan, jelas terlihat jalan tol membelah lahan pertanian. Dari 279,60 ha lahan yang dibebaskan untuk tol Kanci-Pejagan, sebanyak 95 persennya mengonversi lahan pertanian.

Adapun kebutuhan lahan untuk membangun tol dari Cikampek hingga Surabaya adalah 4.734 ha (644,20 km). Untuk menyamai Jalan Raya Daendels, setidaknya harus dibebaskan 5.540,46 ha (712,8 km), sudah dengan menambah lahan relokasi infrastruktur yang terendam lumpur Lapindo Brantas di kawasan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

Persoalannya, ketika lahan dibebaskan, ruang di sepanjang tol turut berubah, terutama dekat gerbang tol. Tidak jauh dari Gerbang Tol Kanci di Kabupaten Cirebon dapat disaksikan belasan penampungan batu bara mengonversi sawah-sawah subur.

Jalan tol trans-Jawa yang melewati Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan, Kabupaten Batang, dan Kabupaten Kendal juga memicu kekhawatiran banyak pihak.

Kepala Seksi Pemulihan Lingkungan Kantor Lingkungan Hidup Brebes Sobawi mengatakan, jalan tol pasti berdampak terhadap lingkungan. ”Saya telah memberi masukan kepada pemerintah pusat agar membangun saluran air dengan benar. Kalau tidak, akan terjadi banjir atau kekeringan karena air tak mengalir atau terserap,” kata Sobawi.

Menurut Sobawi, sangat ironis melebarkan jalan Anyer-Panarukan di Brebes karena berpeluang ditinggalkan pengguna yang beralih ke tol. Lahan milik Sobawi juga terpotong pelebaran jalan Anyer-Panarukan di Brebes.

Pergeseran ekonomi

Tak hanya petani. Tol trans- Jawa dikhawatirkan akan memindahkan pula sebagian kegiatan ekonomi dari Jalan Raya Pos. Misalnya, perajin telur asin di Brebes yang memasarkan dagangan kepada pelintas jalan pantai utara (pantura) Jawa.

Di Brebes kini terdapat 93 perajin telur asin, sebanyak 43 perajin berdagang di Kecamatan Brebes. Seorang perajin rata-rata mempekerjakan 4-10 orang. Ny Irawati, pemilik Toko Cahaya di Jalan Diponegoro, misalnya, seminggu menjual 8.000–10.000 butir telur asin. Penjualan melonjak hingga 15.000 butir bila liburan tiba dan pantura dipenuhi pelintas.

”Kalau ada tol, mungkin orang jadi jarang mampir. Penjualan pasti turun,” kata Irawati dengan pandangan mata menerawang jauh.

Selain industri batik dan telur, warung warga di sepanjang Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, juga terancam bangkrut.

Ana (35), pemilik warung kopi di Desa Surodadi, Kecamatan Gringsing, Kabupaten Kendal, adalah salah satu warga yang mengandalkan hidup dari penjualan nasi dan kopi. Pendapatannya tidak menentu. Terkadang mendapat Rp 50.000 dalam sehari, tetapi terkadang nihil, tidak ada rezeki sama sekali.

Ana kini cemas karena warung yang didirikannya sepuluh tahun lalu mungkin tidak laku bila tol selesai. Ana tak mungkin kembali ke sawah karena tak memiliki sawah lagi. Satu-satunya pilihan mungkin hanya menjadi buruh tani.

Kekhawatiran serupa dirasakan Marfuah (45), pedagang makanan di Gringsing, Kabupaten Kendal. Jalan tol trans-Jawa akan membuat para sopir truk, pelanggannya yang memberi rezeki selama delapan tahun lebih, menghilang. Padahal, Marfuah tak hanya menghidupi keluarga inti, tetapi juga keluarga besar, termasuk keluarga adik dan kakaknya.

Dalam skala lebih besar, Kota Cirebon adalah contoh sempurna dari matinya ekonomi setelah pembangunan tol. Terlebih, kota itu sendiri ternyata tidak mempunyai sektor ekonomi unggulan. Pelabuhan meredup, perdagangan tidak berkembang.

Cirebon yang dulu jadi perlintasan sehingga mendapat keuntungan dari pengguna jalan lambat laun dapat terlupakan sebab pengguna jalan boleh jadi memilih tol Palimanan-Kanci sebagai perlintasan.

Peluang baru

Lonceng kematian ekonomi kecil di jalan lama, sekaligus penanda kemunculan ekonomi baru. Bagi pengembang bermodal besar, tol adalah peluang baru untuk mengembangkan bisnis lain, seperti properti dan perdagangan di mulut tol atau area peristirahatan.

”Di dekat junction, persimpangan jalan tol, kami bangun perbelanjaan atau perumahan. Lalu, kami juga mengonservasi lahan hijau yang bisa dijadikan lokasi wisata,” kata Presiden Direktur PT Bakrieland Development Tbk Hiramsyah S Thaib.

Kelompok Bakrie mendapatkan konsesi untuk membangun hampir separuh ruas jalan tol trans-Jawa. Selain membangun jalan, mereka juga berancang-ancang membuka kawasan perdagangan dan properti di sepanjang lintasan jalan tol.

Sejajar dengan Jalan Raya Pos gagasan Daendels, Grup Bakrie akan membangun tol sepanjang total 265,5 km yang terbagi dalam lima ruas. ”Tidak dapat dihindari perubahan tata ruang, tetapi akan kami kelola. Supaya masyarakat tidak dimarjinalkan, kami akan kerja sama dengan Universitas Gadjah Mada dan Universitas Diponegoro untuk meneliti dampaknya. Masyarakat sekitar jelas akan dipekerjakan,” ujar Hiramsyah.

Sinergi antara pengembang properti dan pembangunan tol bukan hal baru. Jalan tol dari Pondok Aren menuju Serpong (7,5 km) dibangun PT Bintaro Serpong Damai sebagai akses ke perumahan Bintaro Jaya dan Bumi Serpong Damai.

”Sinergi bisnis model ini akan meningkatkan traffic,” ujar Presiden Direktur PT Pejagan-Pemalang Toll Road Harya Mitra Hidayat. Aksesibilitas sangat krusial bagi properti. Premis properti berbunyi, ”lokasi, lokasi, dan lokasi”.

Koko, pedagang yang kerap menyuplai dagangan ke Jakarta, menyatakan sangat mengharapkan tol selesai. ”Sebelum tol dari Banyuwangi ke Pasar Kramat Jati (Jakarta) ditempuh 24-26 jam. Mudah-mudahan setelah tol jadi hanya 15 jam,” ujar Koko.

Bila tidak melalui tol, Koko bakal rugi berlipat dari sisi waktu, kutipan jembatan timbang, pungli oknum DLLAJR, oknum polisi, dan preman. Biaya tinggi ini dapat mencapai 15-25 persen dari biaya sewa truk yang sebenarnya hanya Rp 4 juta.

Menurut Koko, harga beli jeruk nipis dari petani Banyuwangi sebesar Rp 6.000 kilogram (kg), sedangkan harga jual jeruk nipis di Kramat Jati sebesar Rp 8.000-Rp 9.000 per kg. Persoalannya, ketika ongkos transportasi turun akibat tol, akankah harga beli jeruk nipis dari petani dinaikkan ataukah sekadar memperbesar keuntungan pedagang seperti Koko.

Patut diteliti mendalam dampak tol terhadap pertumbuhan sebuah kota. Ketika tol Cipularang dibuka pada Mei 2005, diperkirakan ada lonjakan ekonomi di Bandung. Namun, produk domestik regional bruto Kota Bandung 2000-2006 menunjukkan, pertumbuhan ekonomi selalu berkisar pada angka 7,1-7,3 persen, artinya tidak ada lonjakan ekonomi yang istimewa setelah tol jadi.

Dibangunnya jalan baru adalah peluang. Masalahnya, peluang itu untuk siapa? Jika kemudian pembangunan hanya menguntungkan sedikit pemodal berkantong tebal dan mematikan peluang usaha rakyat berkantong cekak, pastinya akan muncul pemiskinan. (ryo/aik/nel/naw/nit)

[ Kembali ]

Kereta Api atau Jalan Tol?

TRANSPORTASI PULAU JAWA
KOMPAS/AGUS SUSANTO / Kompas Images
Kendaraan melintas di jalan yang ditinggikan di Desa Guyangan, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Rabu (20/8). Perbaikan jalan dengan peninggian 30-80 cm dilakukan akibat banjir pada Februari-Maret 2008 yang melumpuhkan akses utama pantura tersebut
.
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 22 Agustus 2008

Oleh DJOKO SETIJOWARNO

Hipotesis yang menyatakan Pulau Jawa adalah pulau kota segera menjadi kenyataan. Penandanya adalah peningkatan transportasi orang maupun barang.

Kapan pun kita bepergian tak akan terhambat sebab sarana dan prasarana tersedia. Jaringan transportasi pun bertambah seiring dikebutnya tol trans-Jawa serta pengadaan jalur rel (double track) kereta api.

Pulau Jawa berkepadatan penduduk tinggi. Dengan luas hanya 138.793,6 kilometer (km) persegi, disesaki 124 juta jiwa, kepadatannya mencapai 979 jiwa per km persegi. Makin gencarnya pembangunan tol mengancam lahan pertanian yang secara alamiah telah terdesak pertambahan penduduk. Padahal, tanah di Jawa dapat 3-5 kali lebih subur dibandingkan dengan pulau lain.

Pemerintah terlambat menyadari, tol trans-Jawa mengorbankan pertanian. Walaupun empat menteri (Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, dan Menteri Negara BUMN) berniat membuat kesepakatan, hal itu tak akan menyelesaikan masalah.

Pembebasan lahan hanya memberikan sedikit ganti rugi kepada pemilik, sedangkan petani penggarap dimiskinkan sebab kehilangan mata pencaharian dan menjadi calon kaum urban. Apakah hal ini yang dikatakan bahwa kehadiran tol trans-Jawa untuk menyejahterakan masyarakat?

Yang jelas sejahtera adalah oknum Departemen Pekerjaan Umum, oknum DPR, oknum konsultan, oknum kontraktor, oknum perbankan, oknum panitia pembebasan lahan, dan sebagainya. Usaha nonformal seperti warung makan akan mati. Bila ada tempat istirahat (rest- area), dipastikan milik pemodal besar atau pejabat daerah setempat sebagai kompensasi pemberian izin.

Jalan rel dan jalan tol

Membangun jaringan rel kereta api sejatinya lebih murah. Baik dari aspek konstruksi, sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Seluruh jaringan rel yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda dapat dibuat ganda karena lebar lahannya rata-rata 22 meter. Artinya, tidak perlu dilakukan pembebasan lahan lagi.

Bandingkan dengan tol yang harus membebaskan lahan selebar minimal 60 meter. Di Jawa saja diperkirakan 1.000 hektar sawah hilang. Bila tiap hektar sawah memproduksi 5 ton padi tiap musim tanam, sebanyak 5.000 ton padi hilang tiap musim tanam.

Di samping itu, tol memicu pertambahan kendaraan pribadi yang meningkatkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Padahal, dari subsidi BBM 2008 sebesar Rp 180 triliun, sekitar Rp 81 triliun telah dihabiskan untuk kendaraan pribadi. Industri otomotif jelas mendukung tol agar penjualan terdongkrak lebih dari 500.000 unit mobil per tahun.

Usulan Revisi UU Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) jelas dibenci Departemen Perindustrian dan pengusaha industri otomotif, yang beralasan tidak mendukung peningkatan produksi mobil nasional. Tampak sekali kepentingan industri otomotif yang dimodali pihak asing dengan BBM yang juga diimpor.

Padahal, bila memilih kereta api akan didapatkan transportasi yang andal, efektif, dan efisien. Sekali angkut, kereta penumpang dengan delapan gerbong mampu membawa 1.500 penumpang (duduk dan berdiri). Jumlah itu setara 20 armada bus. Konsumsi kereta api pun cukup tiga liter per km, sebaliknya bus 10 liter per km.

Tiap rangkaian kereta api batu bara yang mencapai 40 gerbong dapat mengangkut 2.000 ton batu bara untuk sekali jalan. Dari sisi pencemaran udara, kereta api dikenal paling ramah lingkungan, utamanya kereta rel listrik dengan tingkat pencemaran udara nol persen. Beban biaya polutan yang ditimbulkan hanya 60 juta dollar AS, sedangkan angkutan jalan raya mencapai 16.300 juta dollar AS.

Infrastruktur transportasi

Bercermin dari Eropa, India, Jepang, dan China, transportasi massal mutlak dikembangkan. Kereta api sebagai tulang punggung (backbone) transportasi Pulau Jawa, sedangkan jalan sebagai pengumpan (feeder) angkutan penumpang maupun barang. Untuk perjalanan kurang dari 300 km dapat digunakan jalan, antara 300-500 km digunakan kereta api, dan di atas 500 kilometer digunakan kapal laut atau pesawat terbang.

Selain pertimbangan jarak, waktu, dan konsumsi BBM sebagai acuan untuk harga komoditas barang, juga kenyamanan penumpang. Sayangnya, hingga kini kita belum punya acuan sistem transportasi yang mengintegrasikan semua jaringan transportasi (darat, laut, dan udara) dalam sistem yang terpadu.

Faktanya, infrastruktur transportasi di Jawa kini terpuruk. Jalan lebih sering rusak akibat angkutan barang yang bermuatan berlebih. Sangat besar dana yang tersedot tiap tahun hanya untuk jalan di pantai utara (pantura), padahal dana itu dapat dialihkan untuk mempercepat pembangunan jalan di luar Pulau Jawa.

Mestinya, daripada memaksakan diri membangun tol, cukup dengan memanfaatkan jalan-jalan yang sudah terbangun. Misalnya saja, di beberapa kota telah terbangun jalan-jalan lingkar. Kalau tidak ada lahan untuk jalan lingkar, bangunlah jalan layang di tengah kota.

Akan tetapi, untuk mempertegas kelancaran transportasi harus diperketat penataan dan pengawasan sehingga tidak banyak gangguan berarti sepanjang jalan lingkar itu. Pengawasan juga harus diperketat terhadap kendaraan dan pembukaan akses jalan yang tidak jelas.

Simultan dengan itu, peningkatan peran kereta api untuk mengangkut barang harus dilakukan untuk mengurangi beban jalan raya. Tentu saja keamanan kereta api lebih terjamin dan pungutan liar tidak sebanyak seperti di jalan raya.

Bila lebar sepur yang digunakan standar, yakni 1.435 milimeter, tekanan gandar dapat mencapai 23 ton. Sekarang saja, tekanan gandarnya 16 ton karena lebar sepur 1.067 milimeter. Bandingkan dengan jalan yang hanya mampu dilintasi kendaraan bermuatan sumbu terberat maksimal 10 ton.

Menyatukan departemen yang mengurusi transportasi juga langkah penting untuk mengurangi gesekan antarsektoral agar transportasi benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat dan transportasi yang dipilih juga benar-benar yang paling tepat.

Arah pembangunan transportasi, khususnya di Jawa, memang makin tidak jelas.

Djoko Setijowarno Peneliti Laboratorium Transportasi, Pengajar Jurusan Teknik Sipil dan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) Unika Soegijapranata, Ketua Forum Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat

[ Kembali ]

Jalan Pemodal, Jalan Penguasa

EKSPEDISI 200 TAHUN ANJER-PANAROEKAN

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images
Jumat, 22 Agustus 2008 | 02:33 WIB

Dibangun dengan darah ribuan korban, Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) menjadi kontroversi sepanjang masa. Jalan dengan panjang sekitar 1.100 kilometer dari Anyer hingga Panarukan ini menjadi saksi hasil tanam paksa di tanah Jawa yang dikeruk ke Batavia, lalu dikirim ke Belanda. Jalan yang sama juga menjadi mahakarya yang masih diandalkan menjadi urat nadi Pulau Jawa hingga detik ini.

Rembang, kota yang berbatas Laut Jawa, pertengahan Agustus 2008. Matahari tepat di atas kepala. Sarbi (65) seharian memasukkan air laut yang mengalir di selokan ke dalam kolam. Air yang menguap, meninggalkan kristal garam di dasar kolam beralaskan tanah. Sarbi mengeruk dan memanggulnya ke gubuk bambu di tepi kolam, tak jauh dari Jalan Raya Pos.

Setiap hari, sepanjang tahun, Sarbi melakukan hal yang sama. Tubuhnya hitam legam terpanggang matahari. Hampir sepanjang hidup, Sarbi menjadi petani garam di kolam yang bukan miliknya. Sebagai buruh, Sarbi hanya menerima 25 persen dari total kerja kerasnya. Sehari Sarbi biasanya memanen 5 kuintal dengan nilai Rp 100 per kilogram sehingga upahnya hanya Rp 12.500 per hari. Saat musim hujan, Sarbi menganggur. Itulah musim ketika Sarbi harus bergantung pada rentenir.

Dengan upah yang hanya pas- pasan dan musiman, Sarbi tersengal mengikuti ritme hidup. Jangankan untuk pendidikan anak, untuk makan saja mereka kesulitan. Tanpa pendidikan, anak- anak Sarbi mungkin akan berakhir di ladang garam, mewarisi tradisi buruh garam.

Kisah Sarbi seakan menggambarkan sebuah pola yang tak berubah sejak zaman kolonial Belanda. Kisah tentang eksploitasi buruh di kolam garam. Seperti dikisahkan Peter Boomgaard dalam buku Children of the Colonial State: Population Growth and Economic Development in Java, 1795-1880. ”Pada masa VOC, pembuatan garam diserahkan terutama kepada orang Tionghoa,” tulis Boomgaard.

Biasanya dibutuhkan dua orang untuk mengurus kolam. Keuntungan pemilik sekitar 70 gulden karena pemasukan dari garam sebesar 90 gulden, sementara biaya budak tidak lebih dari 20 gulden per tahun.

Kisah petani garam Kaliori juga serupa dengan perajin-perajin batik di sepanjang Jalan Daendels pada zaman modern ini. Status buruh batik juga diwariskan dari generasi ke generasi. Di balik harga batik seharga Rp 1 juta per potong, upah pembatik pesisiran, mulai dari Cirebon, Pekalongan, Lasem, hingga Tuban, rata-rata hanya mendapat Rp 10.000- 12.000 sehari.

Jalan Daendels menjadi saksi bisu kemiskinan struktural di Jawa. Bagi Munayah (25) dan Rewani (40), pemungut sisa hasil panen padi dari Desa Sumberanyar, Pasuruan, Jawa Timur, nasib hidup mereka tidak dapat diperbaiki. Tidak ada jalan keluar.

Tiap hari mereka memeriksa sampah batang padi. Satu dua bulir gabah per batang mereka kumpulkan. Dalam satu hari mereka bisa memperoleh 3 kilogram beras.

”Kalau irit, cukup untuk makan sekeluarga dua sampai tiga hari,” kata Munayah, yang berangkat dari rumahnya saat dini hari dan baru pulang saat matahari terbenam.

Pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda, pengisapan terhadap rakyat diwujudkan dalam sistem tanam paksa. Dengan sistem ini, selama periode 1831- 1871, Belanda berhasil membangun Kota Batavia. Belanda juga bisa menyisihkan hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Pada 1860-an, sebesar 72 persen penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Hindia Belanda yang digunakan untuk membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah.

Pada era sekarang, pengisapan umumnya berupa eksploitasi dari pemilik modal dan penguasa tanah terhadap buruh. Pola tetap sama, hanya pelaku yang berbeda.

Perebutan kuasa

Jalan Daendels dibangun dengan keringat dan air mata rakyat. Buku Memoir of the Conquest of Java yang ditulis Major William Thorn, seperti dikutip Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, menyebutkan sebanyak 12.000 pekerja tewas! Pengorbanan besar atas nama pembangunan.

Selain korban tewas, pekerja laksana budak karena upahnya diduga dikorupsi pejabat kolonial dan pribumi. Dari literatur diketahui, Daendels memerintahkan pekerja dibayar sebanyak 1-10 ringgit perak.

Namun, jalan yang dibangun di atas penderitaan rakyat Jawa itu setelah jadi hanya dinikmati elite kekuasaan. Empat dekade pertama hanya kereta pos, kereta orang Belanda, dan kereta elite pribumi yang boleh lewat jalan itu. Gerobak atau cikar rakyat dilarang lewat agar jalan itu tidak rusak.

Kini, kesewenang-wenangan masih terjadi. Tengoklah ruas Cirebon-Semarang, pejalan kaki dan becak dipaksa berbagi jalan dengan bus yang dipacu hingga 120 kilometer per jam. Kondisi yang sama terlihat di di ruas Pati-Juwana dan Lasem-Tuban. Sementara itu, di Desa Jembel, tidak jauh dari Tuban, nelayan terpaksa menjajakan ikan di jalan lintas Jawa.

Ketiadaan segmentasi pengguna jalan bukan tanpa alasan. Sejak awal, jalan nasional—terutama di Jawa—bertumbuh dari dua lajur menjadi empat lajur dan baru dibatasi median jalan. Lebih ekstrem, dari jalan desa menjadi jalan kerajaan. Dari Jalan Daendels menjadi jalan nasional.

”Perjalanan Hayam Wuruk dalam inspeksi ke Lumajang dan Lasem, sebagaimana tertulis dalam Kakawin Negarakertagama, menggunakan jalan yang kemudian dilebarkan Daendels,” ujar Dwi Cahyono, sejarawan dari Universitas Negeri Malang.

”Tahun ini, untuk pertama kalinya, jalan pantai utara (pantura) Jawa telah empat lajur, dari Jakarta, Cirebon, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Semarang, hingga Demak,” ujar Hediyanto Hussaini, Direktur Jalan dan Jembatan Wilayah Barat, Departemen Pekerjaan Umum.

Pencapaian itu baru setelah 200 tahun!

Namun, pelebaran jalan pantura juga belum mewadahi pejalan kaki, pengguna sepeda, becak, dan sepeda motor. Mereka dipaksa bertarung dengan bus dan truk di jalan. Kondisi jalan itu pun tidak terlalu mulus, berakar pada buruknya drainase jalan.

Jalan Daendels, dari jalan penguasa menjadi medan pertarungan kekuasaan yang membawa banyak korban tewas. Selama 200 tahun, Jalan Raya Pos juga menjadi saksi pelanggengan struktur ekonomi yang menguntungkan elite pemilik modal dan penguasa.....

(HARYO DAMARDONO/ NELI TRIANA/AHMAD ARIF)

[ Kembali ]

Perluasan Eksploitasi Ekonomi Kolonial

PEMBANGUNAN
KOMPAS/AGUS SUSANTO / Kompas Images
Kendaraan melintas di depan patung Pangeran Kornel (kanan) dan Daendels di Jalan Raya Bandung- Cirebon atau lebih dikenal Cadas Pangeran di Desa Cijeruk, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Jumat (1/8). Cerita rakyat yang berkembang dari patung tersebut adalah simbol perlawanan Kanjeng Pangeran Koesoemahdinata IX (Pangeran Kornel), Bupati Sumedang 1791-1828, terhadap Herman Willem Daendels. Pangeran Kornel bersalaman dengan tangan kiri.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 22 Agustus 2008

Oleh MONA LOHANDA

Pada 5 Mei 1808 Gubernur Jenderal HW Daendels mengeluarkan keputusan agar di seluruh Jawa dibuat jalan raya (dalam literatur kolonial disebut grooten postweg) sebagai bagian dari usaha mempertahankan Pulau Jawa dari serbuan Inggris. Itulah yang kita kenal dalam pelajaran sejarah di sekolah.

Menyimak pasal pertama keputusan tersebut, jelas alasan pembangunan jalan adalah kepentingan ekonomi. ”Bahwa selama musim kering harus dibangun jalan besar dari Buitenzorg (sekarang Bogor) sampai ke Karang Sambung melalui Cipanas, Cianjur, Bandung, Parakamuncang, dan Sumedang supaya ketika warga penduduk memanen kopi, bahkan juga ketika mengirim hasil panen padi, tidak lagi harus lewat jalan buruk dan sulit dilalui.”

Pengalaman menempuh jalanan yang buruk diperoleh ketika sang Gubernur Jenderal menempuh perjalanan Bogor-Semarang pada 29 April 1808, dilanjutkan pada 19-20 Juni ke wilayah Kerajaan Mataram/Yogya-Solo (Vorstenlanden), terus lewat jalur selatan ke sudut Jawa bagian timur (Java’s Oosthoek) menyusuri Sedayu-Tuban-Bangil-Pasuruan- sampai ke Surabaya. Dari Surabaya lewat jalur utara melalui Rembang-Kudus-Japara, tiba kembali di Bojong/Semarang pada 24 Juli 1808.

Pasal selanjutnya dari keputusan 5 Mei tersebut lebih bersifat pelaksanaan teknis, yang justru kemudian menjadi identitas ciri jalan pos. Misalnya, ”setiap 400 rijnlandsche roeden (sekarang kira-kira sama dengan 1,5 km) ditandai dengan tonggak batu (disebut paal), lebar jalan 2 Rijnlandsche roeden (kira-kira 7,5 meter). Ciri lain adalah poststation pada setiap 8-9 kilometer yang oleh warga dikenal sebagai pesanggrahan, semacam tempat beristirahat sementara atau tempat penggantian kuda pos.

Selain kepentingan ekonomi, ada pula keperluan terkait dengan pembaharuan administrasi yang dilancarkan Daendels. Misalnya, pembagian wilayah Jawa dalam sembilan prefectur, mengikuti model Perancis.

Patut dicatat bahwa sistem dan model Perancis yang diterapkan Daendels di Jawa bukan semata- mata karena Daendels diangkat oleh Kaisar Louis Napoleon ketika negeri Belanda berada di bawah kekuasaan Perancis atau karena Daendels adalah seorang Patriot yang anti-Oranye. Hal itu karena yang bersangkutan adalah satu-satunya gubernur jenderal yang sama sekali tidak paham tentang situasi Asia dibandingkan dengan para pendahulunya yang umumnya tumbuh besar dan memulai karier di wilayah koloni VOC.

Pembangunan jalan pos memudahkan dan mempercepat komunikasi sehingga pengiriman berita tidak lagi memakan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Jalan pos menjadi sarana kontrol dalam administrasi pemerintahan, termasuk pula tournee dengan tujuan inspeksi oleh para petinggi kolonial menjadi lebih mudah tanpa perlu menunggu musim yang cocok.

Bagaimana mungkin mempertahankan tanah Jawa dari ancaman serbuan armada Inggris dengan keuangan negara yang kempis? Kepentingan ekonomi menjadi pekerjaan pokok yang pertama-tama harus dilaksanakan. Itulah alasan utama memulai jalan pos di daerah Priangan agar pengiriman hasil preangercultuur berjalan lancar sampai ke pusat kekuasaan di Batavia.

Jalan pos dibangun hampir tanpa biaya dari pemerintah kolonial. Sistem tradisional dalam membangun jalan, memperbaiki desa, membersihkan makam dimanfaatkan dan dilegalkan dengan nama herendiensten, yang sering disebut kerja rodi.

Lewat herendiensten inilah jalan pos dibangun. Ada darah, nyawa, dan air mata penderitaan yang terkubur di sepanjang jalan pos. Selalu ada sumbangsih dalam pembangunan negeri ini oleh warga bangsa sendiri.

Para pekerja herendiensten sesungguhnya bukan tanpa kompensasi. Mereka mendapat bayaran berupa uang dan juga beras. Antara Sumedang-Cirebon, mereka mendapat bayaran 4 riksdalder sebulan dengan beras 4 gantang. Sementara pekerja yang bujangan bayarannya ditentukan berdasarkan konsumsi beras dan garam selama sebulan. Orang Eropa yang cacat juga dipekerjakan dengan bayaran 24 stuivers (120 sen) sehari.

Pelajaran kolonial

Jalan pos diselesaikan dalam tempo setahun lebih, dimulai Mei 1808 dan selesai pertengahan 1809. Jalan sepanjang 1.000 km itu dapat ditempuh dalam 300 jam berjalan kaki.

Di samping jalan pos sebagai proyek utama, dibangun pula jalan untuk berbagai keperluan. Misalnya, jalan sepanjang pantai utara dari Batavia ke Cirebon, jalan untuk keperluan militer di jalur selatan dari Semarang ke Yogya-Solo.

Di daerah pedalaman juga dibangun jalan untuk mengangkut barang dan hasil bumi. Di samping jalan pos dibangun jalan pedati untuk warga.

Atas prakarsa Daendels, terciptalah sistem jaringan jalan. Gubernur jenderal berikutnya tinggal menambah, memperluas, memperbaiki, dan memelihara jalur transportasi tersebut.

Dapat pula dicatat bahwa panjang jalan yang ditandai dengan paal (tonggak kecil dicat putih dengan garis hitam dan dibubuhi angka menunjukkan jarak) menjadi patokan ketika pemerintah akan memperbaiki jalan. Sebagai contoh, pada 1857 ditentukan bahwa pemeliharaan jalan yang dibebankan ke residensi Batavia mulai dari paal 4 (Kwitang) sampai paal 7 (Meester-Cornelis/Jatinegara) terus ke poststation yang pertama, yaitu Bidara Cina lalu ke Pulo Gadung-Bekasi sampai perbatasan dengan Karawang.

Ketika cultuurstelsel dilaksanakan, banyak rel jalan lori dibuat untuk mengangkut tebu ke berbagai pabrik pengolahan gula. Namun, pembukaan jalan kereta api pertama di Jawa justru dibangun setelah cultuurstelsel berakhir, yaitu pada 1871 dengan jalur antara Semarang dan Kedung Jati. Jika jalan pos dibangun mengandalkan tenaga herendiensten (baru dihapus tahun 1916), jalan kereta api dibangun dengan melibatkan perusahaan swasta Eropa sesuai tuntutan arus ekonomi liberal saat itu.

Pada periode bersamaan, wilayah Sumatera mulai memperoleh perhatian pemerintah kolonial. Eksploitasi hutan menumbuhkan berbagai perkebunan—terutama karet—milik swasta di wilayah Sumatera Timur. Muncullah kelas buruh yang dikenal sebagai kuli kontrak yang diboyong beramai-ramai, termasuk tenaga buruh dari daratan China.

Pertambangan juga menjadi komoditas ekspor yang baru. Jalan kereta api dibangun untuk mengirim batu bara dari Ombilin/Sawahlunto ke Pelabuhan Padang (Emmahaven); kelak diperpanjang sampai Pekanbaru.

Di Sumatera Timur, jalur kereta api dibangun ketika pengeboran minyak dimulai dari Pangkalan Brandan ke Belawan Deli. Pada 1940, jalur kereta api terbentang sepanjang Sumatera Timur sebagai wilayah penghasil minyak dan karet: mulai dari Kutaraja (sekarang Banda Aceh) sampai Rantau Prapat.

Pembangunan jalur kereta api di wilayah Aceh juga bagian strategi militer dalam menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Pembukaan jalur kereta api di Sumatera Selatan didasari alasan ekonomi semata, dengan dimulainya pengeboran minyak di Prabumulih, Muara Enim, dan Martapura. Tahun 1940 jalur kereta api diperluas ke Teluk Betung dan ke arah Lubuk Linggau.

Kalimantan—sekalipun kaya hasil tambang dan hutan—tidak sempat mengalami pembangunan jalan kereta api. Begitu juga Sulawesi dan wilayah Indonesia timur. Kesalahan terbesar pemerintah kolonial adalah terlalu mementingkan dan memusatkan aktivitas di Pulau Jawa dan kemudian Sumatera pada pertengahan abad ke-19.

Jika beban berat Jawa adalah akibat kebijakan kolonial, apakah Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, yang dapat menentukan pilihan sendiri untuk membangun negeri ini akankah melanjutkan kesalahan politik pemerintah kolonial?

Mona Lohanda Sejarawan, Peneliti, Bekerja di Arsip Nasional RI

[ Kembali ]

Sabtu, 23 Agustus 2008

Jalan Pemodal, Jalan Penguasa

EKSPEDISI 200 TAHUN ANJER-PANAROEKAN

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images
Diunduh dai Harian KOMPAS, Jumat, 22 Agustus 2008 |

Dibangun dengan darah ribuan korban, Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) menjadi kontroversi sepanjang masa. Jalan dengan panjang sekitar 1.100 kilometer dari Anyer hingga Panarukan ini menjadi saksi hasil tanam paksa di tanah Jawa yang dikeruk ke Batavia, lalu dikirim ke Belanda. Jalan yang sama juga menjadi mahakarya yang masih diandalkan menjadi urat nadi Pulau Jawa hingga detik ini.

Rembang, kota yang berbatas Laut Jawa, pertengahan Agustus 2008. Matahari tepat di atas kepala. Sarbi (65) seharian memasukkan air laut yang mengalir di selokan ke dalam kolam. Air yang menguap, meninggalkan kristal garam di dasar kolam beralaskan tanah. Sarbi mengeruk dan memanggulnya ke gubuk bambu di tepi kolam, tak jauh dari Jalan Raya Pos.

Setiap hari, sepanjang tahun, Sarbi melakukan hal yang sama. Tubuhnya hitam legam terpanggang matahari. Hampir sepanjang hidup, Sarbi menjadi petani garam di kolam yang bukan miliknya. Sebagai buruh, Sarbi hanya menerima 25 persen dari total kerja kerasnya. Sehari Sarbi biasanya memanen 5 kuintal dengan nilai Rp 100 per kilogram sehingga upahnya hanya Rp 12.500 per hari. Saat musim hujan, Sarbi menganggur. Itulah musim ketika Sarbi harus bergantung pada rentenir.

Dengan upah yang hanya pas- pasan dan musiman, Sarbi tersengal mengikuti ritme hidup. Jangankan untuk pendidikan anak, untuk makan saja mereka kesulitan. Tanpa pendidikan, anak- anak Sarbi mungkin akan berakhir di ladang garam, mewarisi tradisi buruh garam.

Kisah Sarbi seakan menggambarkan sebuah pola yang tak berubah sejak zaman kolonial Belanda. Kisah tentang eksploitasi buruh di kolam garam. Seperti dikisahkan Peter Boomgaard dalam buku Children of the Colonial State: Population Growth and Economic Development in Java, 1795-1880. ”Pada masa VOC, pembuatan garam diserahkan terutama kepada orang Tionghoa,” tulis Boomgaard.

Biasanya dibutuhkan dua orang untuk mengurus kolam. Keuntungan pemilik sekitar 70 gulden karena pemasukan dari garam sebesar 90 gulden, sementara biaya budak tidak lebih dari 20 gulden per tahun.

Kisah petani garam Kaliori juga serupa dengan perajin-perajin batik di sepanjang Jalan Daendels pada zaman modern ini. Status buruh batik juga diwariskan dari generasi ke generasi. Di balik harga batik seharga Rp 1 juta per potong, upah pembatik pesisiran, mulai dari Cirebon, Pekalongan, Lasem, hingga Tuban, rata-rata hanya mendapat Rp 10.000- 12.000 sehari.

Jalan Daendels menjadi saksi bisu kemiskinan struktural di Jawa. Bagi Munayah (25) dan Rewani (40), pemungut sisa hasil panen padi dari Desa Sumberanyar, Pasuruan, Jawa Timur, nasib hidup mereka tidak dapat diperbaiki. Tidak ada jalan keluar.

Tiap hari mereka memeriksa sampah batang padi. Satu dua bulir gabah per batang mereka kumpulkan. Dalam satu hari mereka bisa memperoleh 3 kilogram beras.

”Kalau irit, cukup untuk makan sekeluarga dua sampai tiga hari,” kata Munayah, yang berangkat dari rumahnya saat dini hari dan baru pulang saat matahari terbenam.

Pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda, pengisapan terhadap rakyat diwujudkan dalam sistem tanam paksa. Dengan sistem ini, selama periode 1831- 1871, Belanda berhasil membangun Kota Batavia. Belanda juga bisa menyisihkan hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Pada 1860-an, sebesar 72 persen penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Hindia Belanda yang digunakan untuk membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah.

Pada era sekarang, pengisapan umumnya berupa eksploitasi dari pemilik modal dan penguasa tanah terhadap buruh. Pola tetap sama, hanya pelaku yang berbeda.

Perebutan kuasa

Jalan Daendels dibangun dengan keringat dan air mata rakyat. Buku Memoir of the Conquest of Java yang ditulis Major William Thorn, seperti dikutip Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, menyebutkan sebanyak 12.000 pekerja tewas! Pengorbanan besar atas nama pembangunan.

Selain korban tewas, pekerja laksana budak karena upahnya diduga dikorupsi pejabat kolonial dan pribumi. Dari literatur diketahui, Daendels memerintahkan pekerja dibayar sebanyak 1-10 ringgit perak.

Namun, jalan yang dibangun di atas penderitaan rakyat Jawa itu setelah jadi hanya dinikmati elite kekuasaan. Empat dekade pertama hanya kereta pos, kereta orang Belanda, dan kereta elite pribumi yang boleh lewat jalan itu. Gerobak atau cikar rakyat dilarang lewat agar jalan itu tidak rusak.

Kini, kesewenang-wenangan masih terjadi. Tengoklah ruas Cirebon-Semarang, pejalan kaki dan becak dipaksa berbagi jalan dengan bus yang dipacu hingga 120 kilometer per jam. Kondisi yang sama terlihat di di ruas Pati-Juwana dan Lasem-Tuban. Sementara itu, di Desa Jembel, tidak jauh dari Tuban, nelayan terpaksa menjajakan ikan di jalan lintas Jawa.

Ketiadaan segmentasi pengguna jalan bukan tanpa alasan. Sejak awal, jalan nasional—terutama di Jawa—bertumbuh dari dua lajur menjadi empat lajur dan baru dibatasi median jalan. Lebih ekstrem, dari jalan desa menjadi jalan kerajaan. Dari Jalan Daendels menjadi jalan nasional.

”Perjalanan Hayam Wuruk dalam inspeksi ke Lumajang dan Lasem, sebagaimana tertulis dalam Kakawin Negarakertagama, menggunakan jalan yang kemudian dilebarkan Daendels,” ujar Dwi Cahyono, sejarawan dari Universitas Negeri Malang.

”Tahun ini, untuk pertama kalinya, jalan pantai utara (pantura) Jawa telah empat lajur, dari Jakarta, Cirebon, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Semarang, hingga Demak,” ujar Hediyanto Hussaini, Direktur Jalan dan Jembatan Wilayah Barat, Departemen Pekerjaan Umum.

Pencapaian itu baru setelah 200 tahun!

Namun, pelebaran jalan pantura juga belum mewadahi pejalan kaki, pengguna sepeda, becak, dan sepeda motor. Mereka dipaksa bertarung dengan bus dan truk di jalan. Kondisi jalan itu pun tidak terlalu mulus, berakar pada buruknya drainase jalan.

Jalan Daendels, dari jalan penguasa menjadi medan pertarungan kekuasaan yang membawa banyak korban tewas. Selama 200 tahun, Jalan Raya Pos juga menjadi saksi pelanggengan struktur ekonomi yang menguntungkan elite pemilik modal dan penguasa.....

(HARYO DAMARDONO/ NELI TRIANA/AHMAD ARIF)

[ Kembali ]

Kejahatan Ryan dan Koruptor

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 22 Agustus 2008 | 00:28 WIB

Oleh Ignatius Haryanto

Mana kejahatan yang lebih buas: pembunuhan yang dilakukan Very Idam Henyansyah (Ryan) atau korupsi oleh para koruptor?

Kedua hal ini menjadi topik pembicaraan khalayak dan liputan media dalam beberapa minggu terakhir karena dua hal. Kejahatan yang dilakukan Ryan tergolong fenomenal karena ia diduga telah membunuh lebih dari 10 orang di beberapa kota. Sementara itu, korupsi yang dilakukan oleh anggota Dewan dengan menerima pemberian dari pihak Bank Indonesia beberapa tahun silam mencakup nilai hingga miliaran rupiah, dan diduga menyangkut hampir seluruh jajaran pemimpin dan anggota komisi di DPR.

Keduanya patut disejajarkan untuk kita kembalikan pada sebuah pemikiran: mana yang lebih jahat bagi masyarakat, seorang pemuda berdarah dingin atau sekelompok politikus dan mereka yang disebut sebagai wakil rakyat, tetapi telah mempermainkan kepercayaan rakyat kepadanya dengan korupsi untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya?

Kesadaran bersama-sama

Kedua kasus ini pula patut disejajarkan, karena di sini kita bicara tentang ambang batas toleransi kesadaran yang bisa diberikan oleh seorang manusia normal terhadap fenomena yang dihadapi ini. Kasus Ryan mengejutkan kita bahwa rupanya ambang batas toleransi kesadaran pribadi dari seorang Ryan telah terlampaui sehingga pembunuhan demi pembunuhan terjadi bak sekadar menghitung statistik belaka.

Sementara itu, kejahatan korupsi yang dilakukan para anggota Dewan dilakukan dengan suatu kesadaran bersama-sama dan itu juga artinya telah melewati ambang batas toleransi kesadaran bersama. Para pihak yang terlibat dalam korupsi gotong royong ini mungkin mirip dengan apa yang pernah digambarkan Elias Canetti (1984) sebagai fenomena ”berlindung di balik kerumunan”.

”Hanya dalam suatu kerumunanlah, manusia akan merasa dirinya bebas dari persentuhan dengan orang lain. Kerumunanlah satu-satunya situasi di mana ketakutan berubah menjadi kebalikannya (keberanian). Kerumunan yang ia kehendaki adalah kerumunan yang solid, yang membuat tubuh saling bersentuhan, sedemikian rupa sehingga ia tak lagi sadar siapa yang menyentuh dirinya dan siapa yang ia sentuh. Segera setelah ia menyerahkan dirinya pada kerumunan, maka ia kehilangan rasa takut itu.”

Begitulah paparan yang digambarkan Elias Canetti, penulis pemenang Nobel Sastra asal Bulgaria yang lama tinggal di Jerman dalam bukunya yang terkenal, Crowds and Power (Masse und Macht).

Kejahatan Ryan masih terus diselidiki oleh aparat keamanan, sementara kejahatan bergotong royong yang dilakukan oleh para anggota Dewan masih menunggu berbagai proses politik yang mengikutinya. Bisa saja ada yang ditahan, bisa saja ada yang kemudian terbebas dari jeratan hukum. Buat Ryan ini adalah kasus kriminal dan ini telah diliput oleh berbagai media, dan ditaruhnya dalam konteks liputan kriminal. Sementara itu, kejahatan kerah putih anggota Dewan ditaruh dalam segmen ”berita-berita politik atau nasional”. Ironis, kejahatan orang kecil mudah dimasukkan dalam segmen kriminal (bahkan juga dihina-hina oleh presenter info- tainment), sementara kejahatan para tuan berjas ini masih jauh dari jerat kriminal.

Terhadap kasus Ryan dan kasus korupsi para anggota Dewan kita berharap hukum akan tampil adil, dan menghukum setimpal mereka yang terbukti melakukan kejahatan, serta membuat jera mereka-mereka yang tengah mengikuti atau sedang berpikir akan mengikuti jejak, baik Ryan maupun anggota Dewan lainnya.

Keterpurukan bangsa?

Kita mungkin akan bertanya-tanya, konteks personal dan sosial macam apa yang menghasilkan dua fenomena yang melintasi batas toleransi kesadaran diri tersebut? Apakah ini cerminan dari suatu keterpurukan bangsa? Apakah ini cermin bagaimana sosok individu yang terpukau dengan glamournya dunia sekitarnya dan merasa ingin tampil sebagai pemenang dalam dunia glamour tersebut? Apakah ini cermin bahwa suara hati ataupun Ego—dalam terminologi Sigmund Freud soal Id, Ego dan Superego—sudah mati dan tak lagi jadi pertimbangan dalam bertindak? Ataukah memang sudah basi bicara soal suara hati karena tindak manusia tak lebih dari pelampisan terhadap dunia materi ini?

Efek jera hukuman yang diberikan kepada mereka yang terbukti bersalah di sini diperlukan untuk meminimalkan terulangnya kasus ini. Namun, tak ada jaminan sungguh bahwa fenomena pembunuhan dengan sedemikian tenang dilakukan oleh ”Ryan-Ryan” lainnya, dan pula tak ada jaminan bahwa setelah belasan atau puluhan anggota Dewan menjadi terdakwa kasus korupsi, kejahatan ini akan perlahan-lahan pudar dari Indonesia.

Kita tercengang dengan dilewatinya ambang batas toleransi kesadaran manusia. Baik dalam kasus Ryan maupun dalam kasus pemberian suap dari pihak Bank Indonesia dan pihak anggota Dewan terhormat. It takes two to tango, dan ini sodokan yang juga perlu ditujukan kepada para pejabat Bank sentral Indonesia, penguasa lalu lintas keuangan nasional. Kenyataan ini pula menambah ketercengangan kita, bagaimana mungkin sebuah institusi yang dipercaya menjaga kredibilitas keuangan nasional justru melakukan hal yang nista tersebut. Sekali lagi, it takes two to tango. Dua-duanya sami mawon, tak lagi menimbang batas toleransi kesadaran manusia.

Apa kerugian yang dihadapi masyarakat dengan dua kasus ini? Kasus Ryan mengajak masyarakat tak buru-buru percaya kepada pemuda atau orang lain dengan penampilan manis, tutur kata lemah lembut, dan bersikap sopan. Kepercayaan masyarakat tercederai dan banyak pihak merasa telah dibohongi.

Sedangkan dalam kasus korupsi para anggota Dewan, apa kerugian masyarakat? Lebih besar lagi. Masyarakat makin tak percaya kepada para politisi atau para wakil rakyatnya. Wakil rakyat telah berkhianat kepada rakyat. Lebih jauh lagi, seandainya nilai uang yang telah menjadi suap itu disulap dalam bentuk pembangunan gedung sekolah, misalnya, ini artinya ribuan siswa telah dirugikan dengan suap seperti ini. Jika uang yang sama diberikan untuk menambah fasilitas kesehatan, ratusan orang akan terselamatkan. Sementara gedung sekolah reyot membuat siswa tak nyaman belajar, uang bernilai sama hanya dipakai untuk menyuap anggota Dewan untuk tidak menghalangi upaya politik dari Bank sentral Indonesia. Betapa ironisnya dunia kita.

Ignatius Haryanto Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Jakarta

[ Kembali ]


Kampanye Media dan Penegasian Publik

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 23 Agustus 2008

Oleh
AGUS SUDIBYO

Dalam proses penyelenggaraan pemilu, media massa tidak cukup hanya bersikap adil dan seimbang terhadap kontestan pemilu. Media juga harus bersikap adil terhadap publik.

Publik sebagai subyek dalam suatu proses komunikasi politik sangat mungkin mempunyai kepentingan dan sudut pandang berbeda, bahkan bertolak belakang dengan kontestan pemilu. Publik harus dikondisikan untuk selalu bersikap rasional kritis terhadap tindakan-tindakan instrumentalistik kontestan pemilu dalam mengerahkan dan memanipulasi massa.

Penyelenggaraan pemilu yang lalu memberikan pelajaran berharga. Yang dihadapi publik saat itu bukan hanya kecenderungan pemberitaan media yang bias, terlalu berfokus kepada formalitas dan selebrasi politik, serta berorientasi kepada sumber- sumber elite, tetapi juga kecenderungan media untuk larut dalam gemuruh eforia pemilu sehingga menafikan masalah publik yang lain. Ketika pemilu mencapai fase-fase penting, seluruh energi dan perhatian media terserap dalam diskursus tentang pemilu.

Diskursus tentang pemberantasan korupsi, kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, dan seterusnya untuk sementara menyusut, tenggelam dalam gegap gempita pemberitaan pemilu. Seakan-akan satu-satunya urusan yang penting dan urgen adalah pemilu. Seakan-akan kepentingan publik sedemikian rupa tecermin dari pernyataan partai politik, para politikus, dan pengamat.

Publik tidak diperhitungkan

Tendensi penegasian kepentingan publik dalam diskursus media tentang pemilu ini tampaknya masih akan terjadi pada pemilu mendatang. UU No 10/ 2008 tentang Pemilu membuka peluang ke arah sana. Pengaturan peran media dalam pemilu pada undang-undang ini hanya mengasumsikan potensi ketidakadilan atau keberpihakan media terhadap kontestan pemilu, tetapi tidak mempertimbangkan potensi ketidakadilan (jika boleh disebut demikian) media terhadap publik sebagaimana dijelaskan di atas.

Pasal 91 UU Pemilu berbunyi, ”Media massa cetak dan lembaga penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada seluruh peserta pemilu”. Konstruksi berpikir yang tecermin dalam pasal ini adalah aktor dalam komunikasi politik melalui media adalah kontestan pemilu, regulator, dan media massa itu sendiri. Publik tidak diperhitungkan di sini. Jika media massa telah bersikap adil dan berimbang terhadap peserta pemilu, seakan-akan selesailah persoalan. Bagaimana dampak, manfaat, relevansi pemberitaan pemilu terhadap kepentingan publik sebagai warga negara atau pembaca media tidak diperhitungkan. Tidak pula ada pasal lain yang tegas mengatur pemberitaan media pada masa pemilu harus adil dan appropriate terhadap publik sebagai pemangku kepentingan (stakeholders) komunikasi massa dan komunikasi politik.

Pasal 97 UU Pemilu berbunyi, ”Media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu”. Terlewatkan di sini prinsip bahwa penyajian berita atau wawancara oleh media tidak lain dan tidak bukan ditentukan oleh nilai berita (news value).

Persoalannya adalah sejauh mana suatu berita menarik, penting, signifikansi bagi pembaca, sejauh mana prominensi dan magnitude-nya. Sejauh mana kepentingan pembaca atas informasi berkualitas, layak, dan relevan menjadi keutamaan pemberitaan?

News value jelas menempatkan pembaca sebagai the impartial spectator: otoritas yang menentukan kelayakan dan kualitas berita media massa. Dengan demikian, meskipun tetap penting, bersikap adil dan seimbang terhadap peserta pemilu bukan isu utama dalam proses produksi dan distribusi berita.

Masif dan anonim

John B Thompson (1995) mengidentifikasi sisi negatif dari praktik komunikasi massa. Komunikasi massa dapat menyebabkan individu dan komunitas larut dalam totalitas massa yang seragam, pasif, dan tidak bermakna. Istilah ”massa” tidak selalu merujuk pada pluralitas kepentingan, kebutuhan dan selera khalayak, tetapi lebih pada gambaran khalayak media yang masif dan anonim.

Persoalan lain, proses komunikasi massa lebih kurang juga bersifat asimetris dan monologis. Yang terjadi bukan komunikasi ideal yang dicirikan oleh kesetaraan, resiproksitas, dan saling pemahaman, tetapi arus informasi dan perbincangan yang terdeterminasi oleh satu pihak.

Khalayak bukan mitra komunikasi, melainkan partisipan pasif dalam proses transmisi informasi yang telah sedemikian rupa terstruktur dari satu arah. Khalayak media tidak mempunyai daya tawar untuk turut menentukan topik, isi, dan arah pembicaraan. Maka, istilah komunikasi massa menjadi kurang memadai. Thompson menggunakan istilah ”transmisi dan difusi informasi” untuk menggantikan istilah ”komunikasi”, dan istilah ”komunikasi termediasi” untuk menggantikan ”komunikasi massa”.

Kritik Thompson menjadi relevan untuk membahas penegasian publik dalam UU Pemilu di atas. Membaca pengaturan media dalam UU Pemilu, kita seperti menangkap proyeksi menuju komunikasi politik yang asimetris dan satu arah. Komunikasi politik yang kualitasnya tidak ditentukan keterlibatan, resiproksitas, dan umpan balik publik. Komunikasi politik yang diperlakukan sekadar sebagai proses interaksi eksklusif antarelite politik: partai politik, politisi, regulator, dan pengamat. Publik secara politik tidak diperhitungkan dan hanya diperlakukan sebagai penonton yang pasif dan terdeterminasi.

Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET), Jakarta

[ Kembali ]

Menyatukan Pikiran dan Tindakan

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 23 Agustus 2008

Rhenald Kasali

Ketika pekerjaan menyejahterakan rakyat terbentur dengan banyak masalah, lingkungan rusak, pasar tradisional memudar, perdagangan terputus, keamanan memburuk, BUMN merugi, investor asing tak kunjung tiba, dan Visit Indonesia Year jalan di tempat, para pejabat sibuk membuat undang-undang baru. Semua masalah diasumsikan berawal dari ketiadaan payung hukum yang memadai.

Padahal, pemimpin daerah mengeluhkan peraturan baru banyak yang datang dan pergi. Membuat peraturan memang bagian dari perubahan. Namun, orang- orang bijak memberi nasihat, ”Ada dua pihak yang harus diwaspadai: yang tidak pernah berubah dan yang setiap saat berubah.”

Alignment dalam kamus diartikan penjajaran, di masjid dimaknai saf, di ketentaraan berarti membuat dalam satu barisan, dan dalam manajemen saya artikan menyatukan pikiran dan tindakan.

Negeri ini bisa gagal bukan karena kurang orang pintar, tetapi kurang disatukan orang-orang pintar itu. Seorang sekretaris jenderal memberi tahu saya bahwa departemennya sulit bergerak karena kebanyakan orang pintar. Sementara itu, Pak atau Bu Menteri sibuk jalan-jalan ke luar negeri. Orang-orang pintar yang tak disatukan akan asyik dengan pikiran sendiri, bekerja menurut hobi masing-masing.

Buruknya alignment tampak dalam kegiatan yang saling bertabrakan. Saat mengepalai sebuah badan di pemerintahan, saya sering terkejut dengan kunjungan delegasi dagang dari kantor kementerian A dan B. Mereka berkunjung sebelum kami datang, dengan tema yang berseberangan pula. Di Arena Pekan Raya Jakarta kita saksikan anjungan sebuah kota terletak di luar anjungan provinsinya. Di pameran pariwisata internasional di Berlin saya juga pernah melihat anjungan Bali Village yang dikelola swasta ditempatkan di luar anjungan Indonesia yang terkesan gelap dan sepi.

Masalah alignment tak hanya terjadi horizontal antardepartemen, tetapi juga horizontal dalam satu departemen. Di satu departemen hampir semua unit memiliki kegiatan sama dengan nama berbeda-beda. Kegiatan yang berulang sama dengan pelaku (pegawai dan pemborong) yang berbeda-beda jelas merupakan pemborosan.

Sikap ini sebenarnya tak lepas dari tradisi ”menghabiskan anggaran” tanpa memikirkan akibat sehingga tujuan tak pernah tercapai. Bayangkan, satu departemen dengan lima jajaran eselon satu dan 25 jajaran eselon dua mempekerjakan 50 biro iklan dengan 100 pengelola acara.

Memimpin ke atas

Buruknya alignment merupakan cermin dari buruknya kepemimpinan. Tradisi birokrasi yang konon diadakan untuk melayani atasan masih terus berlanjut. Pemimpin baru yang berdatangan dari luar birokrasi tampak menikmati betul pelayanan super prima dari bawahannya. Di bandara mereka dijemput banyak orang, persis di depan pintu pesawat. Di hotel sudah menunggu puluhan orang yang siap melayani permintaan pejabat tinggi. Lift khusus disediakan untuk pejabat puncak.

Seorang CEO perusahaan-pengangkut yang baru diangkat dan kebetulan mantan dari perusahaan swasta baru-baru ini menyatakan: Stop semua itu! Ia menunjukkan karikatur yang terdiri dari banyak orang yang saling mencium tangan atasannya. Pejabat yang paling tinggi (menteri) memberi tangan kanannya untuk dicium pejabat eselon I. Tangan kiri pejabat eselon satu itu dicium pejabat eselon 2. Demikian seterusnya.

Kepemimpinan seperti ini merusak masa depan bangsa. Orang merasa tak sopan kalau tidak membawakan tas pemimpinnya, menjemput di depan pintu pesawat, duduk di paling depan saat pemimpin berpidato, dan seterusnya. Kepemimpinan tidak diadakan untuk melayani atasan, melainkan untuk mengubah manusia dan mencapai hasil. Pemimpin bukanlah pencipta pengikut, melainkan pencipta pemimpin-pemimpin baru.

Dalam model kepemimpinan alignment, seorang pemimpin menjalankan tiga peran sekaligus: memimpin ke atas, memimpin ke bawah, dan memimpin ke samping. Memimpin ke atas dan memimpin ke bawah merupakan bagian dari vertical alignment, sedangkan memimpin ke samping bagian horizontal alignment.

Yang saya temui, banyak menteri, bupati, dan gubernur hanya menjalankan peran memimpin ke bawah, sementara setiap bawahannya terperangkap peran memimpin ke atas. Bisa dibayangkan apa jadinya negeri ini kala semua pejabat hanya melayani atasannya saja. Mereka lupa bahwa birokrasi diadakan untuk kita, pembayar pajak.

Dalam manajemen birokrasi, kepemimpinan yang demikian sedang melakukan inersia, yaitu penyakit ”pedalaman” yang membuat orang asyik melihat ke dalam sehingga sulit menerima perubahan. Inersia menyebabkan birokrat atau eksekutif terpenjara dalam silo (fungsi)-nya masing-masing sehingga sulit menerima pemimpin dari kiri-kanannya.

Horizontal alignment lemah, tidak ada koordinasi. Inilah awal dari pergeseran ekonomi dan negara kesatuan Indonesia yang karut-marut. Indonesia alignment lebih dari sekadar undang-undang, yaitu cara kerja dan memimpin.

Rhenald Kasali Mengajar Manajemen Perubahan pada Universitas Indonesia

[ Kembali ]