Jumat, 20 Maret 2009

Pedagogi Humanisme Mangunwijaya

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 20 Maret 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/20/05242168/pedagogi.humanisme.mangunwijaya

A FERRY T INDRATNO

Konsep Pasca-Indonesia dan Pasca- Einstein merupakan konsep dasar humanisme Mangunwijaya yang dilandasi keprihatinannya. Kita masih suka berpikir dehumanis dalam bentuk pemikiran yang sempit, terkotak-kotak, bercita rasa dangkal, munafik, tidak fair, tidak jujur, serakah, manipulatif, tidak cerdas, dan tidak dewasa.

Dalam bidang pendidikan, situasi tersebut mengakibatkan generasi muda, khususnya peserta didik, tidak mendapatkan tanah tumbuh dan iklim kesempatan untuk berkembang menjadi semakin cerdas dan manusiawi. Seluruh iklim masyarakat tidak menguntungkan untuk menjadi manusia cerdas berkarakter tinggi.

Romo Mangun menolak sistem pendidikan yang membuat anak menjadi seragam karena pendidikan yang menyeragamkan akan mengakibatkan dehumanisme pada diri anak. Pendidikan sejati, dalam arti yang humanis seperti yang dirintis generasi ’28, telah kehilangan makna dan menyimpang sejak Orde Baru yang sisa-sisanya masih ada sampai kini.

Kurikulum terselubung—tempat penguasa menyalurkan kemauan politiknya—dari TK sampai perguruan tinggi, adalah sistem komando, sistem taat, dan sistem hafalan kepada yang memberi instruksi. Meskipun dalam ketentuan kurikulum tingkat satuan pendidikan kegiatan pembelajarannya bisa dikembangkan di daerah masing-masing, tetap saja standarnya ditentukan secara terpusat dan diuji secara nasional. Anak hanya menjadi obyek yang mengabdi pada kepentingan penguasa. Suasana dialogis yang diharapkan terdapat dalam proses belajar-mengajar tidak terjadi karena yang dijalankan di dalam kelas adalah sistem komando, taat dan hapalan. Anak-anak menjadi kehilangan suara.

Model pendidikan penyeragaman hanya menghadirkan sosok dehumanis, kader-kader penghafal, pembeo, dan ”katak dalam tempurung”. Terjadi kesempitan cakrawala pandang yang pada gilirannya akan melahirkan fundamentalisme dan chauvinisme yang membentuk individu-individu fasis yang bermental penyamun, perompak, penggusur tak berperikemanusiaan, yang jelas-jelas menghambat kemajuan bangsa.

Dampak lain dari kesempitan pandangan adalah ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran: orang merasa enak saja berbohong, korupsi, dan sebagainya tanpa merasa bersalah. Sementara di kalangan muda semakin lenyap kemauan untuk berpikir luas, eksploratif, dan kreatif. Muncul rasa rendah diri yang disertai kecenderungan primordial yang pada gilirannya melunturkan rasa solidaritas kebangsaan.

Upaya SD Mangunan

Melalui eksperimen pendidikan di SD Mangunan, diimplementasikan konsep Pasca-Indonesia (PI) dan Pasca-Einstein (PE). Melalui implementasi konsep itu dalam eksperimen pendidikan terjadi tinjauan kritis atas dominasi pemerintah dan kebijakan kurikulum yang menyeragamkan, mendomestifikasi, menstupidifikasi, dan mendehumanisasi anak.

Nilai-nilai yang disampaikan Romo Mangun melalui penerapan konsep PI dan PE di SD Mangunan tentu berbeda dari nilai-nilai yang diterapkan negara melalui kurikulum. Budaya mayoritas yang terwujud dalam kurikulum tidak mendominasi kebiasaan (habitus) dan arena (field) anak-anak SD Mangunan karena mereka memiliki pengetahuan dan nilai budaya yang berbeda dari budaya massa mayoritas. Melalui penerapan konsep PI dan PE, budaya massa mayoritas tidak dapat ”dilanggengkan”.

Konsep habitus, menurut Bourdieu, adalah pembiasaan (pikiran, persepsi, aksi) dalam kondisi tertentu. Habitus membuat tindakan seorang individu menjadi sensible dan reasonable. Habitus adalah struktur subyektif (mental) di mana seorang agen menghasilkan tindakannya. Bourdieu menyebutnya sebagai disposisi terstruktur. Artinya, habitus adalah struktur kepatuhan atau kesiapsediaan seseorang untuk menghasilkan tindakan.

SD Mangunan adalah sebuah SD yang menghasilkan anak- anak yang kreatif, eksploratif-komunikatif, dan integral, juga telah menghasilkan berbagai desain pembelajaran, lembar kerja, materi pelajaran, alat peraga, dan berbagai pelajaran khas serta pola pengasuhan siswa yang berbeda dari budaya massa mayoritas. Hasil-hasil eksperimen itu merupakan nilai alternatif, khususnya jiwa kreatif, eksploratif-komunikatif, dan integral adalah sebuah habitus anak-anak SD Mangunan yang dipakai untuk mendekonstruksi kultur massa mayoritas.

Evolusi kebudayaan

Dalam pandangan Romo Mangun, pembaruan pendidikan perlu ditempatkan di dalam kerangka evolusi kebudayaan yang menjadi sasaran utama pendidikan adalah perubahan dan pembentukan sikap-sikap dan kebudayaan yang baru. Maka, yang paling mendesak adalah perbaikan secara menyeluruh dan intensif pendidikan dasar. Bukan sekadar perbaikan masalah teknis didaktik-metodik, melainkan juga hal-hal yang ideologis, strategis-paradigmatis.

Salah satu kunci terpenting dalam rangka mewujudkan pembaruan pendidikan dalam rangka evolusi kebudayaan semacam itu adalah faktor manusia yang secara formal dipercaya menjalankan peran sebagai guru. Selain memiliki penguasaan teknis, seorang guru lebih-lebih harus merupakan seorang pribadi humanis yang sudah mengalami pencerahan sehingga ia mampu mengembalikan situasi pendidikan yang menghargai ”anak sebagai anak”.

Mengapa penyiapan sosok manusia PI dan PE dipilih melalui sekolah dasar? Menurut Romo Mangun, ada beberapa alasan. Pertama, yang mendasar itu sekolah dasar. Jenjang sekolah dasar merupakan ekosistem dan basis yang strategis bagi evolusi kita sebagai bangsa.

Kedua, suatu sistem pendidikan sekolah dasar yang cocok bagi anak-anak miskin akan merupakan sejenis pengalaman baseline yang pasti bisa diterapkan bagi anak-anak yang kaya. Sebaliknya, sistem pendidikan sekolah dasar yang baik untuk anak-anak kaya belum tentu cocok diterapkan untuk anak-anak miskin.

Ketiga, kenyataan bahwa di kalangan seluruh penduduk negeri kita, mayoritas anak-anak mereka dalam jangka waktu cukup lama masih akan hanya mencapai jenjang sekolah dasar, tak mampu melanjutkan belajar ke jenjang-jenjang yang lebih tinggi.

A FERRY T INDRATNO Bekerja di Dinamika Edukasi Dasar, Yogyakarta

[ Kembali ]

Memihak yang Tersingkir

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 20 Maret 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/20/05252111/memihak.yang.tersingkir.

ST SULARTO

Yusuf Bilyarto Mangunwijaya dan Sutan Sjahrir sama-sama humanis. Mangunwijaya termasuk salah satu pengagum Sjahrir. Apresiasi Mangunwijaya yang disampaikan dalam berbagai kesempatan lisan maupun tulisan selalu merujuk Sjahrir.

Mangunwijaya dan Sjahrir memiliki filosofi dasar yang mirip. Kemanusiaan harus dibela dengan segala risiko. Perbedaannya, yang satu seorang rohaniwan, satunya lagi tidak begitu hirau dengan agama. Sjahrir yang humanis menjadi korban politik kekuasaan, sementara Mangunwijaya yang muncul kemudian menempatkan konflik politik Sjahrir vs Soekarno dalam ungkapan yang berimbang, secara tidak langsung merupakan nuansa humanisme. Bagi Romo Mangun, Sjahrir dan Soekarno adalah dua tokoh nasional yang saling memperkaya dan saling melengkapi.

Paham humanisme mempersatukan Sjahrir dan Mangun. Humanisme bukan paham yang monolitik, tetapi berbentuk dalam berbagai model kendati semuanya mengedepankan paham dimensi esensial manusia universal. Terbentang sejak gerakan humanisme Renaisans di Eropa abad ke-16 hingga ke-17, humanisme kosmopolitan, humanisme Pencerahan, hingga humanisme baru pascamodernisme, humanisme Mangunwijaya memungut unsur positif semua humanisme.

Praksis pendidikan, bidang yang bagi Romo Mangunwijaya merupakan bidang paling strategis untuk penghargaan harkat kemanusiaan diperkaya sisi-sisi positif humanisme. Dari humanisme Renaisans yang mengagungkan rasionalitas dia pungut hak dasar yang harus dimiliki setiap anak manusia, utamanya hak pendidikan dasar bagi anak miskin.

Sejalan dengan humanisme baru pascamodernisme dan Pencerahan, Mangun menekankan metode pendidikan yang mampu menumbuhkan dalam diri anak kesadaran tentang multidimensionalitas dan pluralitas. Metode yang dianjurkan adalah metode pencarian bersama, antara guru dan murid, metode pendidikan yang ditemukan dan disarankan oleh tokoh-tokoh seperti Freire, Ivan Illich, Montesori; sesuatu yang kemudian sebagai referensi praksis pendidikan yang dikembangkan SD Mangunan dengan laboratorium Dinamika Edukasi Dasar. Anak didik adalah subyek sekaligus obyek praksis pendidikan. Pilihan Romo Mangun menjadi salah satu penggagas-pemikir sekaligus praktisi pendidikan bagi anak miskin merupakan sesuatu yang tidak dipersiapkan secara sengaja. Dia memasuki wilayah itu sebagai semacam serendipitas (serendipity) atau kecelakaan di tengah pergulatannya mendampingi rakyat kecil.

Konsep kegunaan

Ketika praksis pendidikan menjadi salah satu lahan pengembangan humanisme, konsep arsitektur dia bongkar tidak sekadar hasil rekayasa bangunan, melainkan dengan konsep guna dan citra. Dia tekankan fungsi sebuah bangunan. Istilah arsitektur dia singkiri, diganti dengan istilah ”wastu” yang bermuatan lebih hakiki, menyeluruh, dan berkait langsung dengan pemanusiawian manusia. Konsep kegunaan menunjuk pada manfaat, keuntungan, dan pelayanan yang diperoleh dari bangunan.

Kebiasaan dan keberanian menggunakan bahan-bahan lokal seperti yang selalu dipraktikkan Romo Mangun, termasuk juga dalam memanfaatkan teknologi lokal menggunakan tenaga sekitar, dengan tidak meninggalkan sentuhan modern, dari sisi lain merupakan bentuk representasi lain keberpihakan pada peningkatan harkat manusia miskin. Ditempatkan dalam zaman kini, dengan penekanan kepentingan aspek ekonomi sebagai panglima, maka ada kecenderungan mengukur kemanusiaan dan arsitektur sebatas aspek ekonomi. Konsep ini, menurut Romo Mangun, berarti mereduksi aspek kehidupan yang seharusnya merupakan sesuatu yang utuh dan membangun relasi kebersamaan dengan sekitar.

Panelis yang arsitek sekaligus penerus fanatik gaya Mangunwijaya merefleksikan beberapa ciri yang disebutnya sebagai pesan sekaligus roh yang ingin disampaikan atas nama humanisme.

Obsesi kemanusiaannya tidak saja diwujudkan dalam konsep bangunan, gagasan, dan praksis pendidikan, tidak hanya lewat berbagai seminar dan khotbah di gereja, tidak hanya dalam novel-novelnya, tetapi juga dalam segala kegiatan praksis politik advokasi. Advokasinya untuk rakyat Kedungombo dan pinggir Kali Code menegaskan keberpihakan, termasuk dukungannya pada ide federalisme dan reformasi Indonesia.

Romo Mangun berpolitik, tidak berpolitik dalam arti mencari, membesarkan, dan melanggengkan kekuasaan sebagai virtue yang dianjurkan Machiavelli. Dalam berpolitik Romo Mangun menampilkan hati nurani sebagai bagian integral dari perpolitikan demi kesejahteraan umum, kemaslahatan, dan kebaikan bersama.

Semua kegiatan dan perjuangan Romo Mangun perlu dibaca sebagai keberpihakan yang tulus kepada manusia miskin, tersingkir, dan tergusur. Seorang panelis berspekulasi, sekiranya tidak berlatar belakang seorang rohaniwan, tidak mustahil ia menggunakan marxisme sebagai senjata untuk membela kaum tertindas. Karena iman Katolik-lah terutama, Romo Mangun mengkritik PKI, sebuah partai yang tidak pernah mau mengakui Sjahrir sebagai politikus yang bersih dan jujur.

Meski sangat kritis terhadap perkembangan negeri ini, Romo Mangun optimistis di tengah pesimisme rakyat kecil. Ia masih membayangkan pada tahun 1998, tanggal 26 Mei, beberapa hari setelah Soeharto melengserkan diri, membabak dua tahap Indonesia tampil sebagai negara besar setelah sekian tahun sia-sia membuang energi. Di usia 100 tahun Sumpah Pemuda, tahun 2020 dan 205 di usia 100 tahun Indonesia Merdeka, katanya, negeri ini akan mencapai a truly democratic Indonesia has taken shape. Semata-mata kemerdekaan politik tidak cukup. Kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan seluruh warga secara penuh dalam iklim demokrasi yang memberi keadilan kepada semua warga tanpa pilih kasih.

Warisan yang ditinggalkan, setelah 10 tahun Romo Mangunwijaya ”berangkat” adalah sebuah buku yang terbuka dengan halaman-halaman kosong untuk diisi oleh generasi kemudian; kalimat-kalimatnya masih koma, yang tidak saja perlu diperkaya, diaktualisasikan, tetapi juga perlu dilaksanakan. Tantangan atas dehumanisme ada di depan mata! Praktik pemerintahan yang kurang berpihak pada rakyat akan memperparah keterpinggiran kita, tidak saja oleh sisi negatif globalisasi anak kandung neoliberalisme tetapi juga oleh keterpicikan berseteru di antara kawan sendiri! Melik nggendong lali!

[ Kembali ]


Jumat, 05 September 2008

Pembohong Patologis

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 6 September 2008

Ada sejumlah pelajaran yang dapat ditarik dari konvensi Repubik/Demokrat di Amerika Serikat. Siapa tahu ada manfaatnya belajar dari AS demi kesuksesan Pemilu/Pilpres 2009.

Lagi pula demokrasi tak menunggu siapa pun karena bisa langsung dipraktikkan tanpa memedulikan usia negara. Tak ada bedanya AS (praktik sejak 1776) dengan kita yang baru kenal demokrasi tahun 1945.

Pelajaran pertama, konvensi bukan sekadar proses memilih capres untuk kalangan internal partai. Ia juga ajang menjual capres kepada pemilih independen dari berbagai kalangan.

Di AS, jumlah pemilih independen mencapai lebih dari separuh total pemilih terdaftar. Ambil studi kasus tahun 2004, dengan jumlah pemilih terdaftar sekitar 142 juta jiwa.

Menurut perkiraan, baik Republik maupun Demokrat mendapat ”suara pasti” masing-masing sekitar 30 juta. Kali ini pendukung Republik diperkirakan sekitar 28 juta, Demokrat antara 30 juta dan 35 juta. Jadi, total pemilih pasti kedua partai mencapai 58 juta-63 juta atau sekitar sepertiga dari total 142 juta pemilih terdaftar. Ada 70-an juta suara independen yang akan diperebutkan Barack Obama dan John McCain.

Tahun ini animo meningkat, tampak dari kenaikan jumlah pemilih sejak primaries Februari 2008. Jumlah yang memilih pada 4 November nanti diperkirakan bertambah minimal 10 persen dari tahun 2004 yang 125,7 juta (61,3 persen).

Tak mengherankan jika pidato Obama dan McCain mati-matian membujuk pemilih independen plus suara pasti dari partai lawan. Ingat, Presiden George W Bush menang pada tahun 2004 dengan 59 juta suara (51,1 persen) yang hampir separuhnya berasal dari pemilih independen/Demokrat.

Demografi politik di sini mirip dengan di AS, yakni besaran jumlah pemilih independen/ massa mengambang yang relatif sama. Jika merujuk pada hasil beberapa pilgub, jumlah itu bisa terdeteksi dari jumlah golput sekitar 40 persen.

Sejauh ini baru PDI-P yang mengadakan konvensi. Megawati Soekarnoputri, produk yang telah dijual berbulan-bulan tidak hanya ke kalangan PDI-P, tetapi juga diluberkan kepada berbagai kalangan independen. Sejumlah jajak pendapat membuktikan popularitas dia meningkat. Bukan itu saja, kehadiran Mbak Mega di sejumlah daerah juga ikut mendongkrak popularitas cagub dukungan PDI-P.

Harap bedakan dengan popularitas Yudhoyono yang mendapat keuntungan sebagai incumbent. Ia mendapat berbagai kemudahan mempertahankan popularitas karena, misalnya, aktivitasnya pasti diliput pers.

Masih ada waktu bagi capres lain menggelar konvensi. Ibarat telepon seluler, persiapan lebih awal lama-kelamaan akan ”memperkuat sinyal”.

Bagaimana dengan Partai Golkar yang tak berkonvensi? Pak Jusuf Kalla sebaiknya berpikir ulang karena konvensi partai pemenang Pemilu 2004 ini berpotensi tentu akan mendongkrak citranya sebagai capres.

Harus diakui manuver-manuver politiknya ampuh. Namun, sifatnya tetap terselubung dan kurang diketahui umum.

Calon pemilih independen sebatas menebak-nebak apa gerangan intensi Pak JK. Agar sukar mengharapkan mereka mengubah pilihan jika menunggu pengumuman resmi Pak JK tiga bulan sebelum pilpres.

Kenaikan popularitas pascakonvensi itulah yang menjadi pelajaran kedua dari AS. Setelah pidatonya yang bersejarah, popularitas Obama naik ke 49 persen (McCain 42 persen).

Dapat dipastikan, popularitas McCain pekan depan bertambah berkat pidatonya dan kejutan Sarah Palin. Itu sebabnya pilpres AS berlangsung makin ketat dan menarik karena kampanye tersisa dua bulan lagi.

Sebagian capres di sini ”malu-malu kucing” menjual dirinya sedini mungkin lewat konvensi. Ini sikap yang antiteori yang didasarkan pada kultur politik yang kurang rasional. Ada kecenderungan mentalitas malu- malu kucing itu ”malu tetapi mau”. Lihat iklan politik yang nilainya miliaran rupiah, tetapi gagal menjawab pertanyaan pokok: Anda mau jadi presiden atau enggak, sih?

Pelajaran ketiga dari pilpres AS, sikap tak jujur capres sungguh berbahaya. Hal ihwal yang berkaitan dengan kejujuran capres biasanya berkaitan dengan sejarah masa lalunya.

Di AS masa lalu jadi urusan penting untuk mengukur watak capres. Itulah sebabnya Obama buru-buru menyesal pernah terjebak kokain dan ganja, McCain merasa gagal sebagai suami pada pernikahan yang pertama.

Lihat bagaimana masa lalu Palin diteliti. Ia ternyata lahir sebagai Katolik dan pindah ke Pantekosta, ikut memengaruhi keputusan pemecatan anggota aparat keamanan yang mantan iparnya, dan memancing ikan tanpa izin. Suaminya pernah ditangkap karena menyetir sambil mabuk, putrinya hamil di luar nikah, anaknya yang baru lahir digosipkan sebagai cucunya. Tak sedikit capres mundur gara-gara berbohong tentang masa lalu masing-masing.

Rakyat AS tak mau lagi memilih presiden pembohong. Mereka lebih suka presiden yang punya berbagai kelemahan ketimbang memilih presiden yang ingin tampil serba sempurna.

Presiden yang ingin tampil serba sempurna tak lebih dari pembohong patologis. Ia tahu melakukan hal yang tidak pantas itu karena ingin membuat rakyat terkesan saja. Itulah Richard Nixon dan Presiden George W Bush. Itulah pelajaran terpenting bagi kita menjelang Pemilu 2009.

[ Kembali ]

Pemimpin Kelas Salon

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 6 September 2008
Oleh Mohamad Sobary

Keseimbangan alam dijaga oleh kekuatan serba dua, yang berpasang-pasangan, saling melengkapi, tetapi sering juga berlawanan: rendah-tinggi, hina- mulia, kotor-bersih, bengkok-lurus, pamrih-tulus, palsu-sejati.

Semua ukuran normatif itu memberi arah, ”kiblat” hidup. Tatanan pribadi maupun kolektif, di berbagai bidang lebih kurang juga ”berkiblat” ke situ.

Mengubah wajah

Di bidang politik, urusannya agak berbeda. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi membuat perbedaan itu menjadi lebih mencolok. Orang bisa bicara lebih meyakinkan tentang politik pencitraan: sebuah politik salon kecantikan yang mengurus make up, bedak dan gincu, untuk merebut posisi kepemimpinan.

Di sini kita terjebak ke dalam anggapan dan kesadaran palsu bahwa ”ilmu kulit” (polesan bedak dan gincu) itu ”penting”. Namun, jangan salah, para tokoh itu sengaja memalsukan kesadaran umum dan membiarkan kepalsuan berkembang demi keuntungan politik mereka.

Maka, suatu citra ”dibuat”. Ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi bisa ”membuat” seseorang tampak lebih unggul dari yang lain. Karena itu, dalam ”pilkada” atau ”pemilu” si unggul buatan dan palsu inilah yang menang.

Ilmu manipulatif itu bisa membuat seorang tokoh otoriter dan rasis menjadi seolah begitu demokratis dan peduli pada kemanusiaan. Tokoh yang tak tahu apa-apa tentang dunia anak seolah begitu protektif terhadap anak-anak dan tokoh yang berwatak sektarian, fanatik, dan memuja kekerasan, bisa ”dicitrakan” sebagai orang toleran, inklusif, dan akomodatif terhadap pluralitas kebudayaan.

Pendek kata, selain operasi plastik di dunia kedokteran yang bisa mengubah wajah manusia, ilmu komunikasi juga mampu memanipulasi jiwa dan perilaku manusia sesuai kehendak pemesan. Di sana-sini lalu tampil watak hipokrit yang difasilitasi media yang kelihatannya melek tetapi tertidur.

Kepalsuan demi kepalsuan perilaku para tokoh mendominasi kita setiap detik, setiap menit, setiap jam dalam hari-hari yang terpolusi iklan yang mengumbar kata-kata normatif, klise, dan bohong, disertai foto orang-orang narsistik yang dipajang di mana-mana, tetapi tak memberi inspirasi apa-apa.

Kita sedang memasuki peradaban dungu, yang memuja apa saja yang palsu. Kedunguan massal itu membuat kita lupa akan pentingnya sejarah. Kita tak lagi kritis membaca jejak mereka. Kita juga tak lagi merasa perlu bertanya bagaimana sebenarnya sejarah hidup orang-orang itu dan modal apa yang membuat mereka berani begitu jemawa?

Kini, mengapa seluruh bangsa bagai tersihir pesona kepalsuan dan memuja mereka yang pada masa lalu belum punya catatan apa pun dan tak pernah melakukan amal apa pun? Seolah mereka sama mulianya bagi kita. Padahal, rekam jejak masa lalu mereka begitu kelam dan menjadi musuh nurani bangsa karena secara sistematik pernah merusak sendi kehidupan yang dengan susah payah dibangun bersama? Selembar daun apakah yang kini sedang menutup nalar kritis seluruh bangsa sehingga kita begitu nerimo dinistakan seperti ini?

Citra buatan

Dalam hidup modern, yang gugup, tergesa-gesa, dan serba instan, seluruh kesadaran kita terbelenggu oleh ”citra” buatan itu. Lalu kita pun—selain lupa menengok sejarah mereka—tak sempat pula bertanya adakah tokoh ini cocok, atau bertentangan, dengan citra yang dibuatnya. Dan, sekali lagi, dalam pilkada dan pemilu yang dikotori politik uang, kita pun memilihnya sebagai pemimpin.

Haruskah kita memercayai kesimpulan yang tampak logis bahwa kini perkembangan kesadaran politik bangsa kita baru sampai tahap mengagumi foto, kata-kata, dan tampilan ”rapi jali” buatan salon yang memiliki selera kecantikan, tetapi sama sekali—dan dengan sendirinya—tak memiliki otentisitas pemikiran tentang pemimpin dan kepemimpinan?

Tidak. Nalar politik bangsa kita tak senaif itu. Di kalangan masyarakat pedesaan pun, orang tahu apa arti kepalsuan seperti itu. Di antara warga kota yang kurang terdidik dan hidup di lapis bawah secara sosial maupun ekonomi pun paham akan kesejatian pemimpin yang kira-kira dapat diandalkan untuk membuat hidup seluruh bangsa lebih baik.

Pendeknya kita tahu, politik ”pencitraan” itu barang palsu, sepalsu permainan panggung drama modern dan lenong, atau ketoprak. Tampilan ”rapi jali” bedak dan gincu itu bukan identitas sejati mereka.

Namun, tahukah kita, saat memilih tokoh macam itu dalam pilkada atau pemilu akan berakibat parah bagi kehidupan kita sendiri? Tahukah kita, dalam suatu ”momen pendek”—beberapa detik saat mencoblos dan menentukan pilihan—sebenarnya kita mempertaruhkan nasib bangsa?

Saya belum meneliti ke arah itu. Maka, saya beralih pada perilaku orang-orang yang menekuni ilmu pencitraan. Mereka menjadi konsultan, penasihat, atau tim sukses para calon, yang minta ”didandani” dan bisa mendadak kaya raya.

Persekongkolan antara mereka dan para tokoh yang bersedia berjualan wajah dan jiwa palsu itulah yang melahirkan salon-salon kecantikan yang lihai memoles citra pemimpin bangsa. Inilah era getir sejarah kita. Rakyat 200 juta dipimpin oleh ”pemimpin palsu” yang dipoles di salon-salon kecantikan yang tak mempunyai tanggung jawab politik maupun moral.

Inilah tragedi kita abad ini. Kita tertipu ilmu dan teknologi, yang berusaha memenuhi tuntutan integritas, hanya dengan polesan bedak dan gincu di salon kecantikan yang tak mungkin tahu malu.

Mohamad Sobary Direktur Eksekutif Partnership for Governance Reform

[ Kembali ]

Kamis, 04 September 2008

Pembangunan Bias Perkotaan

TAJUK RENCANA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 4 September 2008

Kondisi Indonesia dalam ”perangkap pangan” merupakan masalah serius, apalagi terkait kelalaian kita mengendalikan jumlah penduduk.

Ketergantungan kita pada impor katakanlah akibat libasan globalisasi. Krisis pangan ada di depan mata. Kita tidak sendirian, negara lain juga, tetapi jangan sampai membuat kita tidur nyenyak.

Prioritas ketersediaan bahan makanan cukup bagi warga negara sendiri, ibarat bagian dari survival of the fittest sebagai negara berdaulat. Tahun 2020, misalnya, Indonesia berpenduduk lebih dari 300 juta, negara lain juga kerepotan memberi warganya makan.

Selain kelalaian mengendalikan jumlah penduduk, tidak kalah parah menyangkut kesalahan kita mengambil pilihan. Meminjam istilah Prof Sediono MP Tjondronegoro, ”kita melakukan pembangunan bias perkotaan”, yang berakibat melebarnya kesenjangan perkotaan dan pedesaan.

Menurut Prof Sediono, modernisasi pertanian melahirkan kesenjangan penguasaan lahan di pedesaan dan kemampuan pertanian menyerap tenaga kerja. Surplus tenaga kerja harus ditampung di perkotaan. Kemiskinan berpindah dari desa ke kota.

Otonomi daerah sebetulnya memberi pemerintah daerah peluang mengembangkan kawasan. Uang dalam jumlah besar mengalir ke pedesaan. Namun, ketika kebijakan keliru telanjur menjadi bagian dari mindset, akibatnya di pedesaan tidak tercipta lapangan kerja.

Kota-kota berkilau. Pedesaan redup. Indonesia yang tidak menempatkan pertanian dalam arti luas sebagai sumber daya agraria terpuruk dalam menyediakan makanan bagi penduduknya.

Ketidakberpihakan pada agraria—negara agraris ingkari agraria—pun terlihat dari tingginya tingkat konservasi lahan pertanian. Lahan produktif pertanian beralih fungsi menjadi kawasan industri dan permukiman. Angka alih fungsi rata-rata 2,5 persen setiap tahun bukanlah angka kecil ketika dideret dalam jumlah puluhan tahun.

Tidak semua kebijakan dan program pembangunan sebelum reformasi itu buruk. Disemangati memberdayakan masyarakat desa lewat berbagai lembaga, kita hidupkan kembali institusi semacam posyandu, BKKBN, bimas, dan penyuluh pertanian.

Kita ubah mindset tentang pembangunan. Jadikan pertanian menjadi tumpuan pertumbuhan. Jangan biarkan petani berjudi sendirian dengan iklim dan dengan tengkulak. Petani butuh contoh konkret keberpihakan. Kejadian terakhir petani membuang gula di jalan (Madiun) mengingatkan ketidakberpihakan.

[ Kembali ]

Melawan Akal Sehat

TAJUK RENCANA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 4 September 2008.

Langkah Komisi Pemilihan Umum kembali menuai kritik. Kini, yang menjadi sasaran kritik adalah rencana mereka pergi ke luar negeri untuk sosialisasi!

Pihak KPU berdalih kepergian mereka ke 14 kota di sejumlah negara adalah amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, khususnya mengenai pembentukan Panitia Pemilihan Luar Negeri. Mereka akan pergi ke Kuala Lumpur, Beijing, New Delhi, Manila, Jeddah, Cairo, Cape Town, Sydney, Madrid, Paris, New York, Havana, Den Haag, dan Moskwa bersama sejumlah anggota staf.

Kritik terhadap rencana itu antara lain datang dari Badan Pengawas Pemilu dan sejumlah anggota DPR. Mereka berharap KPU lebih dulu berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaan rumah mereka di dalam negeri.

Kita memahami dan sependapat dengan kritik itu. Di tengah skeptisisme publik terhadap kinerja KPU, kita mempertanyakan sejauh mana sensitivitas dan rasionalitas politik anggota KPU ketika mereka tetap memutuskan pergi ke luar negeri dengan mengabaikan sama sekali kritik publik. KPU memang sebuah komisi negara yang mandiri, tetapi itu bukan berarti KPU bisa bertindak tanpa kontrol.

Meskipun KPU menegaskan potensi pemilih di luar negeri adalah 17 juta, tetapi berdasarkan data jumlah pemilih tetap pada pemilu presiden putaran II tahun 2004, jumlahnya sebanyak 458.198 pemilih. Jumlah itu tidak sebanding dengan potensi pemilih pada Pemilu 2009 yang diperkirakan mencapai 174 juta.

Menyelesaikan pekerjaan rumah untuk persiapan Pemilu 9 April 2009 sebenarnya lebih menjadi prioritas daripada melakukan sosialisasi di luar negeri. Daftar Pemilih Sementara (DPS) tetaplah menjadi sebuah problem klasik hampir pada setiap pemilu. Hasil audit LP3ES dan NDI paling tidak menunjukkan rendahnya tingkat akurasi sejumlah data pemilih dan besarnya potensi pemilih tidak terdaftar. Bahkan, diperkirakan lebih dari 36 juta pemilih tidak terdaftar.

KPU mengakui sosialisasi DPS tidak maksimal dilaksanakan karena keterbatasan anggaran. Akan tetapi, justru di sinilah pilihan KPU melakukan sosialisasi ke luar negeri, di tengah anggaran yang terbatas, terasa melawan akal sehat publik. Mengapa justru sosialisasi ke luar negeri yang lebih dikedepankan? Apakah tak bisa dilakukan dengan menggunakan kemajuan teknologi komunikasi?

Problem lain di luar sosialisasi DPS adalah verifikasi calon anggota legislatif yang berjumlah 11.888 orang dan membengkak menjadi lebih dari 12.000 orang, verifikasi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah yang juga belum rampung, dan pembentukan Panitia Penyelenggara Pemilu di dalam negeri yang belum semuanya selesai.

Kritik kita ketengahkan karena kita tidak ingin penyelenggaraan Pemilu 2009 berkurang kualitasnya hanya karena kurangnya persiapan di dalam negeri!

[ Kembali ]

Minggu, 24 Agustus 2008

Mungkinkah Jalan untuk Semua?

TOL
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 22 Agustus 2008

”Biasanya bulan kesembilan sudah hujan. Maka, sebelum bulan itu, gorong-gorong harus sudah selesai supaya air dapat mengalir dari selatan ke utara tol menuju sawah saya,” ujar Sarja, warga Desa Luwung Bata, Kecamatan Tanjung, Brebes, Jawa Tengah. Sawahnya tepat di tepi proyek Jalan Tol Kanci-Pejagan dan dia pun cemas tak mendapat air.

PT Semesta Marga Raya (SMR), selaku investor Tol Kanci-Pejagan (35 kilometer), menjadwalkan drainase selesai Oktober 2008. Bila jadwal bergeser, investor mungkin hanya perlu menambah ongkos. Sebaliknya, bagi Sarja, hal itu berarti pemiskinan.

Bila panen berhasil, Sarja berpotensi mendapat Rp 2,27 juta per bulan dari lahan sawah seluas 0,7 hektar (ha). Sekilas angka itu cukup besar. Namun, dengan dua masa tanam setahun, tentu saja Sarja harus berhemat.

Tol trans-Jawa memang mengonversi ribuan hektar lahan pertanian. Menyusuri proyek Tol Kanci-Pejagan, yang sedang masuk tahap pengerasan timbunan, jelas terlihat jalan tol membelah lahan pertanian. Dari 279,60 ha lahan yang dibebaskan untuk tol Kanci-Pejagan, sebanyak 95 persennya mengonversi lahan pertanian.

Adapun kebutuhan lahan untuk membangun tol dari Cikampek hingga Surabaya adalah 4.734 ha (644,20 km). Untuk menyamai Jalan Raya Daendels, setidaknya harus dibebaskan 5.540,46 ha (712,8 km), sudah dengan menambah lahan relokasi infrastruktur yang terendam lumpur Lapindo Brantas di kawasan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

Persoalannya, ketika lahan dibebaskan, ruang di sepanjang tol turut berubah, terutama dekat gerbang tol. Tidak jauh dari Gerbang Tol Kanci di Kabupaten Cirebon dapat disaksikan belasan penampungan batu bara mengonversi sawah-sawah subur.

Jalan tol trans-Jawa yang melewati Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan, Kabupaten Batang, dan Kabupaten Kendal juga memicu kekhawatiran banyak pihak.

Kepala Seksi Pemulihan Lingkungan Kantor Lingkungan Hidup Brebes Sobawi mengatakan, jalan tol pasti berdampak terhadap lingkungan. ”Saya telah memberi masukan kepada pemerintah pusat agar membangun saluran air dengan benar. Kalau tidak, akan terjadi banjir atau kekeringan karena air tak mengalir atau terserap,” kata Sobawi.

Menurut Sobawi, sangat ironis melebarkan jalan Anyer-Panarukan di Brebes karena berpeluang ditinggalkan pengguna yang beralih ke tol. Lahan milik Sobawi juga terpotong pelebaran jalan Anyer-Panarukan di Brebes.

Pergeseran ekonomi

Tak hanya petani. Tol trans- Jawa dikhawatirkan akan memindahkan pula sebagian kegiatan ekonomi dari Jalan Raya Pos. Misalnya, perajin telur asin di Brebes yang memasarkan dagangan kepada pelintas jalan pantai utara (pantura) Jawa.

Di Brebes kini terdapat 93 perajin telur asin, sebanyak 43 perajin berdagang di Kecamatan Brebes. Seorang perajin rata-rata mempekerjakan 4-10 orang. Ny Irawati, pemilik Toko Cahaya di Jalan Diponegoro, misalnya, seminggu menjual 8.000–10.000 butir telur asin. Penjualan melonjak hingga 15.000 butir bila liburan tiba dan pantura dipenuhi pelintas.

”Kalau ada tol, mungkin orang jadi jarang mampir. Penjualan pasti turun,” kata Irawati dengan pandangan mata menerawang jauh.

Selain industri batik dan telur, warung warga di sepanjang Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, juga terancam bangkrut.

Ana (35), pemilik warung kopi di Desa Surodadi, Kecamatan Gringsing, Kabupaten Kendal, adalah salah satu warga yang mengandalkan hidup dari penjualan nasi dan kopi. Pendapatannya tidak menentu. Terkadang mendapat Rp 50.000 dalam sehari, tetapi terkadang nihil, tidak ada rezeki sama sekali.

Ana kini cemas karena warung yang didirikannya sepuluh tahun lalu mungkin tidak laku bila tol selesai. Ana tak mungkin kembali ke sawah karena tak memiliki sawah lagi. Satu-satunya pilihan mungkin hanya menjadi buruh tani.

Kekhawatiran serupa dirasakan Marfuah (45), pedagang makanan di Gringsing, Kabupaten Kendal. Jalan tol trans-Jawa akan membuat para sopir truk, pelanggannya yang memberi rezeki selama delapan tahun lebih, menghilang. Padahal, Marfuah tak hanya menghidupi keluarga inti, tetapi juga keluarga besar, termasuk keluarga adik dan kakaknya.

Dalam skala lebih besar, Kota Cirebon adalah contoh sempurna dari matinya ekonomi setelah pembangunan tol. Terlebih, kota itu sendiri ternyata tidak mempunyai sektor ekonomi unggulan. Pelabuhan meredup, perdagangan tidak berkembang.

Cirebon yang dulu jadi perlintasan sehingga mendapat keuntungan dari pengguna jalan lambat laun dapat terlupakan sebab pengguna jalan boleh jadi memilih tol Palimanan-Kanci sebagai perlintasan.

Peluang baru

Lonceng kematian ekonomi kecil di jalan lama, sekaligus penanda kemunculan ekonomi baru. Bagi pengembang bermodal besar, tol adalah peluang baru untuk mengembangkan bisnis lain, seperti properti dan perdagangan di mulut tol atau area peristirahatan.

”Di dekat junction, persimpangan jalan tol, kami bangun perbelanjaan atau perumahan. Lalu, kami juga mengonservasi lahan hijau yang bisa dijadikan lokasi wisata,” kata Presiden Direktur PT Bakrieland Development Tbk Hiramsyah S Thaib.

Kelompok Bakrie mendapatkan konsesi untuk membangun hampir separuh ruas jalan tol trans-Jawa. Selain membangun jalan, mereka juga berancang-ancang membuka kawasan perdagangan dan properti di sepanjang lintasan jalan tol.

Sejajar dengan Jalan Raya Pos gagasan Daendels, Grup Bakrie akan membangun tol sepanjang total 265,5 km yang terbagi dalam lima ruas. ”Tidak dapat dihindari perubahan tata ruang, tetapi akan kami kelola. Supaya masyarakat tidak dimarjinalkan, kami akan kerja sama dengan Universitas Gadjah Mada dan Universitas Diponegoro untuk meneliti dampaknya. Masyarakat sekitar jelas akan dipekerjakan,” ujar Hiramsyah.

Sinergi antara pengembang properti dan pembangunan tol bukan hal baru. Jalan tol dari Pondok Aren menuju Serpong (7,5 km) dibangun PT Bintaro Serpong Damai sebagai akses ke perumahan Bintaro Jaya dan Bumi Serpong Damai.

”Sinergi bisnis model ini akan meningkatkan traffic,” ujar Presiden Direktur PT Pejagan-Pemalang Toll Road Harya Mitra Hidayat. Aksesibilitas sangat krusial bagi properti. Premis properti berbunyi, ”lokasi, lokasi, dan lokasi”.

Koko, pedagang yang kerap menyuplai dagangan ke Jakarta, menyatakan sangat mengharapkan tol selesai. ”Sebelum tol dari Banyuwangi ke Pasar Kramat Jati (Jakarta) ditempuh 24-26 jam. Mudah-mudahan setelah tol jadi hanya 15 jam,” ujar Koko.

Bila tidak melalui tol, Koko bakal rugi berlipat dari sisi waktu, kutipan jembatan timbang, pungli oknum DLLAJR, oknum polisi, dan preman. Biaya tinggi ini dapat mencapai 15-25 persen dari biaya sewa truk yang sebenarnya hanya Rp 4 juta.

Menurut Koko, harga beli jeruk nipis dari petani Banyuwangi sebesar Rp 6.000 kilogram (kg), sedangkan harga jual jeruk nipis di Kramat Jati sebesar Rp 8.000-Rp 9.000 per kg. Persoalannya, ketika ongkos transportasi turun akibat tol, akankah harga beli jeruk nipis dari petani dinaikkan ataukah sekadar memperbesar keuntungan pedagang seperti Koko.

Patut diteliti mendalam dampak tol terhadap pertumbuhan sebuah kota. Ketika tol Cipularang dibuka pada Mei 2005, diperkirakan ada lonjakan ekonomi di Bandung. Namun, produk domestik regional bruto Kota Bandung 2000-2006 menunjukkan, pertumbuhan ekonomi selalu berkisar pada angka 7,1-7,3 persen, artinya tidak ada lonjakan ekonomi yang istimewa setelah tol jadi.

Dibangunnya jalan baru adalah peluang. Masalahnya, peluang itu untuk siapa? Jika kemudian pembangunan hanya menguntungkan sedikit pemodal berkantong tebal dan mematikan peluang usaha rakyat berkantong cekak, pastinya akan muncul pemiskinan. (ryo/aik/nel/naw/nit)

[ Kembali ]