Kamis, 04 September 2008

Pembangunan Bias Perkotaan

TAJUK RENCANA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 4 September 2008

Kondisi Indonesia dalam ”perangkap pangan” merupakan masalah serius, apalagi terkait kelalaian kita mengendalikan jumlah penduduk.

Ketergantungan kita pada impor katakanlah akibat libasan globalisasi. Krisis pangan ada di depan mata. Kita tidak sendirian, negara lain juga, tetapi jangan sampai membuat kita tidur nyenyak.

Prioritas ketersediaan bahan makanan cukup bagi warga negara sendiri, ibarat bagian dari survival of the fittest sebagai negara berdaulat. Tahun 2020, misalnya, Indonesia berpenduduk lebih dari 300 juta, negara lain juga kerepotan memberi warganya makan.

Selain kelalaian mengendalikan jumlah penduduk, tidak kalah parah menyangkut kesalahan kita mengambil pilihan. Meminjam istilah Prof Sediono MP Tjondronegoro, ”kita melakukan pembangunan bias perkotaan”, yang berakibat melebarnya kesenjangan perkotaan dan pedesaan.

Menurut Prof Sediono, modernisasi pertanian melahirkan kesenjangan penguasaan lahan di pedesaan dan kemampuan pertanian menyerap tenaga kerja. Surplus tenaga kerja harus ditampung di perkotaan. Kemiskinan berpindah dari desa ke kota.

Otonomi daerah sebetulnya memberi pemerintah daerah peluang mengembangkan kawasan. Uang dalam jumlah besar mengalir ke pedesaan. Namun, ketika kebijakan keliru telanjur menjadi bagian dari mindset, akibatnya di pedesaan tidak tercipta lapangan kerja.

Kota-kota berkilau. Pedesaan redup. Indonesia yang tidak menempatkan pertanian dalam arti luas sebagai sumber daya agraria terpuruk dalam menyediakan makanan bagi penduduknya.

Ketidakberpihakan pada agraria—negara agraris ingkari agraria—pun terlihat dari tingginya tingkat konservasi lahan pertanian. Lahan produktif pertanian beralih fungsi menjadi kawasan industri dan permukiman. Angka alih fungsi rata-rata 2,5 persen setiap tahun bukanlah angka kecil ketika dideret dalam jumlah puluhan tahun.

Tidak semua kebijakan dan program pembangunan sebelum reformasi itu buruk. Disemangati memberdayakan masyarakat desa lewat berbagai lembaga, kita hidupkan kembali institusi semacam posyandu, BKKBN, bimas, dan penyuluh pertanian.

Kita ubah mindset tentang pembangunan. Jadikan pertanian menjadi tumpuan pertumbuhan. Jangan biarkan petani berjudi sendirian dengan iklim dan dengan tengkulak. Petani butuh contoh konkret keberpihakan. Kejadian terakhir petani membuang gula di jalan (Madiun) mengingatkan ketidakberpihakan.

[ Kembali ]

Tidak ada komentar: