Jumat, 05 September 2008

Pemimpin Kelas Salon

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 6 September 2008
Oleh Mohamad Sobary

Keseimbangan alam dijaga oleh kekuatan serba dua, yang berpasang-pasangan, saling melengkapi, tetapi sering juga berlawanan: rendah-tinggi, hina- mulia, kotor-bersih, bengkok-lurus, pamrih-tulus, palsu-sejati.

Semua ukuran normatif itu memberi arah, ”kiblat” hidup. Tatanan pribadi maupun kolektif, di berbagai bidang lebih kurang juga ”berkiblat” ke situ.

Mengubah wajah

Di bidang politik, urusannya agak berbeda. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi membuat perbedaan itu menjadi lebih mencolok. Orang bisa bicara lebih meyakinkan tentang politik pencitraan: sebuah politik salon kecantikan yang mengurus make up, bedak dan gincu, untuk merebut posisi kepemimpinan.

Di sini kita terjebak ke dalam anggapan dan kesadaran palsu bahwa ”ilmu kulit” (polesan bedak dan gincu) itu ”penting”. Namun, jangan salah, para tokoh itu sengaja memalsukan kesadaran umum dan membiarkan kepalsuan berkembang demi keuntungan politik mereka.

Maka, suatu citra ”dibuat”. Ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi bisa ”membuat” seseorang tampak lebih unggul dari yang lain. Karena itu, dalam ”pilkada” atau ”pemilu” si unggul buatan dan palsu inilah yang menang.

Ilmu manipulatif itu bisa membuat seorang tokoh otoriter dan rasis menjadi seolah begitu demokratis dan peduli pada kemanusiaan. Tokoh yang tak tahu apa-apa tentang dunia anak seolah begitu protektif terhadap anak-anak dan tokoh yang berwatak sektarian, fanatik, dan memuja kekerasan, bisa ”dicitrakan” sebagai orang toleran, inklusif, dan akomodatif terhadap pluralitas kebudayaan.

Pendek kata, selain operasi plastik di dunia kedokteran yang bisa mengubah wajah manusia, ilmu komunikasi juga mampu memanipulasi jiwa dan perilaku manusia sesuai kehendak pemesan. Di sana-sini lalu tampil watak hipokrit yang difasilitasi media yang kelihatannya melek tetapi tertidur.

Kepalsuan demi kepalsuan perilaku para tokoh mendominasi kita setiap detik, setiap menit, setiap jam dalam hari-hari yang terpolusi iklan yang mengumbar kata-kata normatif, klise, dan bohong, disertai foto orang-orang narsistik yang dipajang di mana-mana, tetapi tak memberi inspirasi apa-apa.

Kita sedang memasuki peradaban dungu, yang memuja apa saja yang palsu. Kedunguan massal itu membuat kita lupa akan pentingnya sejarah. Kita tak lagi kritis membaca jejak mereka. Kita juga tak lagi merasa perlu bertanya bagaimana sebenarnya sejarah hidup orang-orang itu dan modal apa yang membuat mereka berani begitu jemawa?

Kini, mengapa seluruh bangsa bagai tersihir pesona kepalsuan dan memuja mereka yang pada masa lalu belum punya catatan apa pun dan tak pernah melakukan amal apa pun? Seolah mereka sama mulianya bagi kita. Padahal, rekam jejak masa lalu mereka begitu kelam dan menjadi musuh nurani bangsa karena secara sistematik pernah merusak sendi kehidupan yang dengan susah payah dibangun bersama? Selembar daun apakah yang kini sedang menutup nalar kritis seluruh bangsa sehingga kita begitu nerimo dinistakan seperti ini?

Citra buatan

Dalam hidup modern, yang gugup, tergesa-gesa, dan serba instan, seluruh kesadaran kita terbelenggu oleh ”citra” buatan itu. Lalu kita pun—selain lupa menengok sejarah mereka—tak sempat pula bertanya adakah tokoh ini cocok, atau bertentangan, dengan citra yang dibuatnya. Dan, sekali lagi, dalam pilkada dan pemilu yang dikotori politik uang, kita pun memilihnya sebagai pemimpin.

Haruskah kita memercayai kesimpulan yang tampak logis bahwa kini perkembangan kesadaran politik bangsa kita baru sampai tahap mengagumi foto, kata-kata, dan tampilan ”rapi jali” buatan salon yang memiliki selera kecantikan, tetapi sama sekali—dan dengan sendirinya—tak memiliki otentisitas pemikiran tentang pemimpin dan kepemimpinan?

Tidak. Nalar politik bangsa kita tak senaif itu. Di kalangan masyarakat pedesaan pun, orang tahu apa arti kepalsuan seperti itu. Di antara warga kota yang kurang terdidik dan hidup di lapis bawah secara sosial maupun ekonomi pun paham akan kesejatian pemimpin yang kira-kira dapat diandalkan untuk membuat hidup seluruh bangsa lebih baik.

Pendeknya kita tahu, politik ”pencitraan” itu barang palsu, sepalsu permainan panggung drama modern dan lenong, atau ketoprak. Tampilan ”rapi jali” bedak dan gincu itu bukan identitas sejati mereka.

Namun, tahukah kita, saat memilih tokoh macam itu dalam pilkada atau pemilu akan berakibat parah bagi kehidupan kita sendiri? Tahukah kita, dalam suatu ”momen pendek”—beberapa detik saat mencoblos dan menentukan pilihan—sebenarnya kita mempertaruhkan nasib bangsa?

Saya belum meneliti ke arah itu. Maka, saya beralih pada perilaku orang-orang yang menekuni ilmu pencitraan. Mereka menjadi konsultan, penasihat, atau tim sukses para calon, yang minta ”didandani” dan bisa mendadak kaya raya.

Persekongkolan antara mereka dan para tokoh yang bersedia berjualan wajah dan jiwa palsu itulah yang melahirkan salon-salon kecantikan yang lihai memoles citra pemimpin bangsa. Inilah era getir sejarah kita. Rakyat 200 juta dipimpin oleh ”pemimpin palsu” yang dipoles di salon-salon kecantikan yang tak mempunyai tanggung jawab politik maupun moral.

Inilah tragedi kita abad ini. Kita tertipu ilmu dan teknologi, yang berusaha memenuhi tuntutan integritas, hanya dengan polesan bedak dan gincu di salon kecantikan yang tak mungkin tahu malu.

Mohamad Sobary Direktur Eksekutif Partnership for Governance Reform

[ Kembali ]

1 komentar:

anton ikhnaton mengatakan...

Telah banyak contoh betapa ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi pedang bermata dua dalam sejarah panjang kebudayaan manusia. Alfred Nobel sangat kecewa ketika dinamit temuannya yang didedikasikan untuk mempercepat proses penggalian dalam pertambangan akhirnya membunuh banyak orang ketika digunakan dalam peperangan. Begitu pula internet yang merupakan lompatan besar dalam teknologi informasi ternyata lebih banyak digunakan untuk mengakses pornografi. Faktor (moral) manusia ternyata menjadi penentu manfaat maupun penderitaan yang dihasilkan dari kemajuan ilmu dan teknologi.
Persekongkolan yang dilakukan oleh oknum ahli ilmu pencitraan dengan para tokoh yang bersedia berjualan wajah dan jiwa palsu dimungkinkan berhasil melahirkan pemimpin kelas salon karena dua hal, yaitu kelemahan sistem demokrasi dan kualitas rakyat yang biasa-biasa saja.

Kritik terhadap demokrasi

Sistem pemerintahan demokrasi sendiri yang diklaim merupakan kemajuan kebudayaan manusia tidak lepas dari kelemahan. Demokrasi merupakan perbaikan dari sistem kerajaan yang lebih otoriter. Meskipun faktanya dalam sejarah banyak kerajaan yang membawa kemajuan budaya dan kemakmuran bagi rakyatnya. Begitu pula banyak pemimpin otoriter yang menyengsaraan rakyat dilahirkan dari sistem pemerintahan demokrasi seperti yang pernah kita alami.
Demokrasi dalam praktek awalnya juga tidak memilih kaisar melalui pemilihan langsung oleh rakyat, tetapi diwakilkan kepada Senat yang dipilih oleh rakyat. Mirip dengan pemilihan presiden oleh MPR yang kita anut dahulu. Meletakkan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat kebanyakan melalui pemilihan langsung juga menyalahi hukum pencilan ganda (two tail) dalam ilmu statistik. Dalam suatu kurva distribusi normal, kualitas yang tinggi hanya dimiliki oleh sebagian kecil dari populasi. Pemain bulu tangkis terbaik hanya satu orang Rudi Hartono dari seratus juta orang penduduk Indonesia pada masa itu. Mayoritas populasi akan memiliki kualitas yang “biasa-biasa saja”. Pemilihan pemimpin langsung oleh rakyat berdasarkan suara terbanyak sangat mungkin hanya akan menghasilkan pemimpin dengan kualitas yang “biasa-biasa saja”.


Rakyat yang lemah

Nasib suatu bangsa tidak akan berubah sebelum rakyatnya berusaha untuk berubah. Suatu bangsa akan mendapatkan kualitas pemimpin yang sepadan dengan kualitas rakyatnya, apapun sistem pemerintahan yang dianutnya. Desa petani akan dipimpin oleh pemimpin yang mengerti pertanian. Kota pedagang akan dipimpin oleh pedagang yang berjiwa pemimpin. Pesantren akan dipimpin oleh ulama. Sedangkan departemen yang korup akan dipimpin oleh menteri yang korup pula.
Dengan kondisi rakyat yang lemah di berbagai bidang (intelektualitas, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya) haruskah kita mendapatkan pemimpin yang lemah? Semoga tidak. Masih ada kekuatan moral, budaya, dan agama yang bisa melahirkan pemimpin yang bermoral, berbudaya, dan taat beragama. Ataukah kesemuanya juga telah mengalami dekadensi?
Beruntunglah pada kenyataannya sepanjang sejarah rakyat kita – yang sekarang jumlahnya lebih dari 200 juta jiwa – belum pernah dipimpin oleh pemimpin (presiden) kelas salon. Tetapi fenomena maraknya iklan calon presiden yang mengumbar kebohongan dan kepalsuan harus menjadi perhatian kita. Jangan sampai kelemahan sistem demokrasi dan kondisi rakyat yang serba lemah mengantarkan pemimpin kelas salon ini ke istana.
Karena bukan kapasitas kita sebagai rakyat untuk mengubah sistem demokrasi yang lemah, setidaknya tiga hal yang dapat kita lakukan yaitu: selalu mengasah sikap kritis terhadap segala hal, tidak mudah amnesia terhadap sejarah, serta tidak terjebak dalam hedonisme yang menumbuhsuburkan suap dan politik uang.

Anton Ikhnaton, MD