Jumat, 05 September 2008

Pembohong Patologis

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 6 September 2008

Ada sejumlah pelajaran yang dapat ditarik dari konvensi Repubik/Demokrat di Amerika Serikat. Siapa tahu ada manfaatnya belajar dari AS demi kesuksesan Pemilu/Pilpres 2009.

Lagi pula demokrasi tak menunggu siapa pun karena bisa langsung dipraktikkan tanpa memedulikan usia negara. Tak ada bedanya AS (praktik sejak 1776) dengan kita yang baru kenal demokrasi tahun 1945.

Pelajaran pertama, konvensi bukan sekadar proses memilih capres untuk kalangan internal partai. Ia juga ajang menjual capres kepada pemilih independen dari berbagai kalangan.

Di AS, jumlah pemilih independen mencapai lebih dari separuh total pemilih terdaftar. Ambil studi kasus tahun 2004, dengan jumlah pemilih terdaftar sekitar 142 juta jiwa.

Menurut perkiraan, baik Republik maupun Demokrat mendapat ”suara pasti” masing-masing sekitar 30 juta. Kali ini pendukung Republik diperkirakan sekitar 28 juta, Demokrat antara 30 juta dan 35 juta. Jadi, total pemilih pasti kedua partai mencapai 58 juta-63 juta atau sekitar sepertiga dari total 142 juta pemilih terdaftar. Ada 70-an juta suara independen yang akan diperebutkan Barack Obama dan John McCain.

Tahun ini animo meningkat, tampak dari kenaikan jumlah pemilih sejak primaries Februari 2008. Jumlah yang memilih pada 4 November nanti diperkirakan bertambah minimal 10 persen dari tahun 2004 yang 125,7 juta (61,3 persen).

Tak mengherankan jika pidato Obama dan McCain mati-matian membujuk pemilih independen plus suara pasti dari partai lawan. Ingat, Presiden George W Bush menang pada tahun 2004 dengan 59 juta suara (51,1 persen) yang hampir separuhnya berasal dari pemilih independen/Demokrat.

Demografi politik di sini mirip dengan di AS, yakni besaran jumlah pemilih independen/ massa mengambang yang relatif sama. Jika merujuk pada hasil beberapa pilgub, jumlah itu bisa terdeteksi dari jumlah golput sekitar 40 persen.

Sejauh ini baru PDI-P yang mengadakan konvensi. Megawati Soekarnoputri, produk yang telah dijual berbulan-bulan tidak hanya ke kalangan PDI-P, tetapi juga diluberkan kepada berbagai kalangan independen. Sejumlah jajak pendapat membuktikan popularitas dia meningkat. Bukan itu saja, kehadiran Mbak Mega di sejumlah daerah juga ikut mendongkrak popularitas cagub dukungan PDI-P.

Harap bedakan dengan popularitas Yudhoyono yang mendapat keuntungan sebagai incumbent. Ia mendapat berbagai kemudahan mempertahankan popularitas karena, misalnya, aktivitasnya pasti diliput pers.

Masih ada waktu bagi capres lain menggelar konvensi. Ibarat telepon seluler, persiapan lebih awal lama-kelamaan akan ”memperkuat sinyal”.

Bagaimana dengan Partai Golkar yang tak berkonvensi? Pak Jusuf Kalla sebaiknya berpikir ulang karena konvensi partai pemenang Pemilu 2004 ini berpotensi tentu akan mendongkrak citranya sebagai capres.

Harus diakui manuver-manuver politiknya ampuh. Namun, sifatnya tetap terselubung dan kurang diketahui umum.

Calon pemilih independen sebatas menebak-nebak apa gerangan intensi Pak JK. Agar sukar mengharapkan mereka mengubah pilihan jika menunggu pengumuman resmi Pak JK tiga bulan sebelum pilpres.

Kenaikan popularitas pascakonvensi itulah yang menjadi pelajaran kedua dari AS. Setelah pidatonya yang bersejarah, popularitas Obama naik ke 49 persen (McCain 42 persen).

Dapat dipastikan, popularitas McCain pekan depan bertambah berkat pidatonya dan kejutan Sarah Palin. Itu sebabnya pilpres AS berlangsung makin ketat dan menarik karena kampanye tersisa dua bulan lagi.

Sebagian capres di sini ”malu-malu kucing” menjual dirinya sedini mungkin lewat konvensi. Ini sikap yang antiteori yang didasarkan pada kultur politik yang kurang rasional. Ada kecenderungan mentalitas malu- malu kucing itu ”malu tetapi mau”. Lihat iklan politik yang nilainya miliaran rupiah, tetapi gagal menjawab pertanyaan pokok: Anda mau jadi presiden atau enggak, sih?

Pelajaran ketiga dari pilpres AS, sikap tak jujur capres sungguh berbahaya. Hal ihwal yang berkaitan dengan kejujuran capres biasanya berkaitan dengan sejarah masa lalunya.

Di AS masa lalu jadi urusan penting untuk mengukur watak capres. Itulah sebabnya Obama buru-buru menyesal pernah terjebak kokain dan ganja, McCain merasa gagal sebagai suami pada pernikahan yang pertama.

Lihat bagaimana masa lalu Palin diteliti. Ia ternyata lahir sebagai Katolik dan pindah ke Pantekosta, ikut memengaruhi keputusan pemecatan anggota aparat keamanan yang mantan iparnya, dan memancing ikan tanpa izin. Suaminya pernah ditangkap karena menyetir sambil mabuk, putrinya hamil di luar nikah, anaknya yang baru lahir digosipkan sebagai cucunya. Tak sedikit capres mundur gara-gara berbohong tentang masa lalu masing-masing.

Rakyat AS tak mau lagi memilih presiden pembohong. Mereka lebih suka presiden yang punya berbagai kelemahan ketimbang memilih presiden yang ingin tampil serba sempurna.

Presiden yang ingin tampil serba sempurna tak lebih dari pembohong patologis. Ia tahu melakukan hal yang tidak pantas itu karena ingin membuat rakyat terkesan saja. Itulah Richard Nixon dan Presiden George W Bush. Itulah pelajaran terpenting bagi kita menjelang Pemilu 2009.

[ Kembali ]

Pemimpin Kelas Salon

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 6 September 2008
Oleh Mohamad Sobary

Keseimbangan alam dijaga oleh kekuatan serba dua, yang berpasang-pasangan, saling melengkapi, tetapi sering juga berlawanan: rendah-tinggi, hina- mulia, kotor-bersih, bengkok-lurus, pamrih-tulus, palsu-sejati.

Semua ukuran normatif itu memberi arah, ”kiblat” hidup. Tatanan pribadi maupun kolektif, di berbagai bidang lebih kurang juga ”berkiblat” ke situ.

Mengubah wajah

Di bidang politik, urusannya agak berbeda. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi membuat perbedaan itu menjadi lebih mencolok. Orang bisa bicara lebih meyakinkan tentang politik pencitraan: sebuah politik salon kecantikan yang mengurus make up, bedak dan gincu, untuk merebut posisi kepemimpinan.

Di sini kita terjebak ke dalam anggapan dan kesadaran palsu bahwa ”ilmu kulit” (polesan bedak dan gincu) itu ”penting”. Namun, jangan salah, para tokoh itu sengaja memalsukan kesadaran umum dan membiarkan kepalsuan berkembang demi keuntungan politik mereka.

Maka, suatu citra ”dibuat”. Ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi bisa ”membuat” seseorang tampak lebih unggul dari yang lain. Karena itu, dalam ”pilkada” atau ”pemilu” si unggul buatan dan palsu inilah yang menang.

Ilmu manipulatif itu bisa membuat seorang tokoh otoriter dan rasis menjadi seolah begitu demokratis dan peduli pada kemanusiaan. Tokoh yang tak tahu apa-apa tentang dunia anak seolah begitu protektif terhadap anak-anak dan tokoh yang berwatak sektarian, fanatik, dan memuja kekerasan, bisa ”dicitrakan” sebagai orang toleran, inklusif, dan akomodatif terhadap pluralitas kebudayaan.

Pendek kata, selain operasi plastik di dunia kedokteran yang bisa mengubah wajah manusia, ilmu komunikasi juga mampu memanipulasi jiwa dan perilaku manusia sesuai kehendak pemesan. Di sana-sini lalu tampil watak hipokrit yang difasilitasi media yang kelihatannya melek tetapi tertidur.

Kepalsuan demi kepalsuan perilaku para tokoh mendominasi kita setiap detik, setiap menit, setiap jam dalam hari-hari yang terpolusi iklan yang mengumbar kata-kata normatif, klise, dan bohong, disertai foto orang-orang narsistik yang dipajang di mana-mana, tetapi tak memberi inspirasi apa-apa.

Kita sedang memasuki peradaban dungu, yang memuja apa saja yang palsu. Kedunguan massal itu membuat kita lupa akan pentingnya sejarah. Kita tak lagi kritis membaca jejak mereka. Kita juga tak lagi merasa perlu bertanya bagaimana sebenarnya sejarah hidup orang-orang itu dan modal apa yang membuat mereka berani begitu jemawa?

Kini, mengapa seluruh bangsa bagai tersihir pesona kepalsuan dan memuja mereka yang pada masa lalu belum punya catatan apa pun dan tak pernah melakukan amal apa pun? Seolah mereka sama mulianya bagi kita. Padahal, rekam jejak masa lalu mereka begitu kelam dan menjadi musuh nurani bangsa karena secara sistematik pernah merusak sendi kehidupan yang dengan susah payah dibangun bersama? Selembar daun apakah yang kini sedang menutup nalar kritis seluruh bangsa sehingga kita begitu nerimo dinistakan seperti ini?

Citra buatan

Dalam hidup modern, yang gugup, tergesa-gesa, dan serba instan, seluruh kesadaran kita terbelenggu oleh ”citra” buatan itu. Lalu kita pun—selain lupa menengok sejarah mereka—tak sempat pula bertanya adakah tokoh ini cocok, atau bertentangan, dengan citra yang dibuatnya. Dan, sekali lagi, dalam pilkada dan pemilu yang dikotori politik uang, kita pun memilihnya sebagai pemimpin.

Haruskah kita memercayai kesimpulan yang tampak logis bahwa kini perkembangan kesadaran politik bangsa kita baru sampai tahap mengagumi foto, kata-kata, dan tampilan ”rapi jali” buatan salon yang memiliki selera kecantikan, tetapi sama sekali—dan dengan sendirinya—tak memiliki otentisitas pemikiran tentang pemimpin dan kepemimpinan?

Tidak. Nalar politik bangsa kita tak senaif itu. Di kalangan masyarakat pedesaan pun, orang tahu apa arti kepalsuan seperti itu. Di antara warga kota yang kurang terdidik dan hidup di lapis bawah secara sosial maupun ekonomi pun paham akan kesejatian pemimpin yang kira-kira dapat diandalkan untuk membuat hidup seluruh bangsa lebih baik.

Pendeknya kita tahu, politik ”pencitraan” itu barang palsu, sepalsu permainan panggung drama modern dan lenong, atau ketoprak. Tampilan ”rapi jali” bedak dan gincu itu bukan identitas sejati mereka.

Namun, tahukah kita, saat memilih tokoh macam itu dalam pilkada atau pemilu akan berakibat parah bagi kehidupan kita sendiri? Tahukah kita, dalam suatu ”momen pendek”—beberapa detik saat mencoblos dan menentukan pilihan—sebenarnya kita mempertaruhkan nasib bangsa?

Saya belum meneliti ke arah itu. Maka, saya beralih pada perilaku orang-orang yang menekuni ilmu pencitraan. Mereka menjadi konsultan, penasihat, atau tim sukses para calon, yang minta ”didandani” dan bisa mendadak kaya raya.

Persekongkolan antara mereka dan para tokoh yang bersedia berjualan wajah dan jiwa palsu itulah yang melahirkan salon-salon kecantikan yang lihai memoles citra pemimpin bangsa. Inilah era getir sejarah kita. Rakyat 200 juta dipimpin oleh ”pemimpin palsu” yang dipoles di salon-salon kecantikan yang tak mempunyai tanggung jawab politik maupun moral.

Inilah tragedi kita abad ini. Kita tertipu ilmu dan teknologi, yang berusaha memenuhi tuntutan integritas, hanya dengan polesan bedak dan gincu di salon kecantikan yang tak mungkin tahu malu.

Mohamad Sobary Direktur Eksekutif Partnership for Governance Reform

[ Kembali ]

Kamis, 04 September 2008

Pembangunan Bias Perkotaan

TAJUK RENCANA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 4 September 2008

Kondisi Indonesia dalam ”perangkap pangan” merupakan masalah serius, apalagi terkait kelalaian kita mengendalikan jumlah penduduk.

Ketergantungan kita pada impor katakanlah akibat libasan globalisasi. Krisis pangan ada di depan mata. Kita tidak sendirian, negara lain juga, tetapi jangan sampai membuat kita tidur nyenyak.

Prioritas ketersediaan bahan makanan cukup bagi warga negara sendiri, ibarat bagian dari survival of the fittest sebagai negara berdaulat. Tahun 2020, misalnya, Indonesia berpenduduk lebih dari 300 juta, negara lain juga kerepotan memberi warganya makan.

Selain kelalaian mengendalikan jumlah penduduk, tidak kalah parah menyangkut kesalahan kita mengambil pilihan. Meminjam istilah Prof Sediono MP Tjondronegoro, ”kita melakukan pembangunan bias perkotaan”, yang berakibat melebarnya kesenjangan perkotaan dan pedesaan.

Menurut Prof Sediono, modernisasi pertanian melahirkan kesenjangan penguasaan lahan di pedesaan dan kemampuan pertanian menyerap tenaga kerja. Surplus tenaga kerja harus ditampung di perkotaan. Kemiskinan berpindah dari desa ke kota.

Otonomi daerah sebetulnya memberi pemerintah daerah peluang mengembangkan kawasan. Uang dalam jumlah besar mengalir ke pedesaan. Namun, ketika kebijakan keliru telanjur menjadi bagian dari mindset, akibatnya di pedesaan tidak tercipta lapangan kerja.

Kota-kota berkilau. Pedesaan redup. Indonesia yang tidak menempatkan pertanian dalam arti luas sebagai sumber daya agraria terpuruk dalam menyediakan makanan bagi penduduknya.

Ketidakberpihakan pada agraria—negara agraris ingkari agraria—pun terlihat dari tingginya tingkat konservasi lahan pertanian. Lahan produktif pertanian beralih fungsi menjadi kawasan industri dan permukiman. Angka alih fungsi rata-rata 2,5 persen setiap tahun bukanlah angka kecil ketika dideret dalam jumlah puluhan tahun.

Tidak semua kebijakan dan program pembangunan sebelum reformasi itu buruk. Disemangati memberdayakan masyarakat desa lewat berbagai lembaga, kita hidupkan kembali institusi semacam posyandu, BKKBN, bimas, dan penyuluh pertanian.

Kita ubah mindset tentang pembangunan. Jadikan pertanian menjadi tumpuan pertumbuhan. Jangan biarkan petani berjudi sendirian dengan iklim dan dengan tengkulak. Petani butuh contoh konkret keberpihakan. Kejadian terakhir petani membuang gula di jalan (Madiun) mengingatkan ketidakberpihakan.

[ Kembali ]

Melawan Akal Sehat

TAJUK RENCANA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 4 September 2008.

Langkah Komisi Pemilihan Umum kembali menuai kritik. Kini, yang menjadi sasaran kritik adalah rencana mereka pergi ke luar negeri untuk sosialisasi!

Pihak KPU berdalih kepergian mereka ke 14 kota di sejumlah negara adalah amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, khususnya mengenai pembentukan Panitia Pemilihan Luar Negeri. Mereka akan pergi ke Kuala Lumpur, Beijing, New Delhi, Manila, Jeddah, Cairo, Cape Town, Sydney, Madrid, Paris, New York, Havana, Den Haag, dan Moskwa bersama sejumlah anggota staf.

Kritik terhadap rencana itu antara lain datang dari Badan Pengawas Pemilu dan sejumlah anggota DPR. Mereka berharap KPU lebih dulu berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaan rumah mereka di dalam negeri.

Kita memahami dan sependapat dengan kritik itu. Di tengah skeptisisme publik terhadap kinerja KPU, kita mempertanyakan sejauh mana sensitivitas dan rasionalitas politik anggota KPU ketika mereka tetap memutuskan pergi ke luar negeri dengan mengabaikan sama sekali kritik publik. KPU memang sebuah komisi negara yang mandiri, tetapi itu bukan berarti KPU bisa bertindak tanpa kontrol.

Meskipun KPU menegaskan potensi pemilih di luar negeri adalah 17 juta, tetapi berdasarkan data jumlah pemilih tetap pada pemilu presiden putaran II tahun 2004, jumlahnya sebanyak 458.198 pemilih. Jumlah itu tidak sebanding dengan potensi pemilih pada Pemilu 2009 yang diperkirakan mencapai 174 juta.

Menyelesaikan pekerjaan rumah untuk persiapan Pemilu 9 April 2009 sebenarnya lebih menjadi prioritas daripada melakukan sosialisasi di luar negeri. Daftar Pemilih Sementara (DPS) tetaplah menjadi sebuah problem klasik hampir pada setiap pemilu. Hasil audit LP3ES dan NDI paling tidak menunjukkan rendahnya tingkat akurasi sejumlah data pemilih dan besarnya potensi pemilih tidak terdaftar. Bahkan, diperkirakan lebih dari 36 juta pemilih tidak terdaftar.

KPU mengakui sosialisasi DPS tidak maksimal dilaksanakan karena keterbatasan anggaran. Akan tetapi, justru di sinilah pilihan KPU melakukan sosialisasi ke luar negeri, di tengah anggaran yang terbatas, terasa melawan akal sehat publik. Mengapa justru sosialisasi ke luar negeri yang lebih dikedepankan? Apakah tak bisa dilakukan dengan menggunakan kemajuan teknologi komunikasi?

Problem lain di luar sosialisasi DPS adalah verifikasi calon anggota legislatif yang berjumlah 11.888 orang dan membengkak menjadi lebih dari 12.000 orang, verifikasi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah yang juga belum rampung, dan pembentukan Panitia Penyelenggara Pemilu di dalam negeri yang belum semuanya selesai.

Kritik kita ketengahkan karena kita tidak ingin penyelenggaraan Pemilu 2009 berkurang kualitasnya hanya karena kurangnya persiapan di dalam negeri!

[ Kembali ]