Jumat, 20 Maret 2009

Pedagogi Humanisme Mangunwijaya

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 20 Maret 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/20/05242168/pedagogi.humanisme.mangunwijaya

A FERRY T INDRATNO

Konsep Pasca-Indonesia dan Pasca- Einstein merupakan konsep dasar humanisme Mangunwijaya yang dilandasi keprihatinannya. Kita masih suka berpikir dehumanis dalam bentuk pemikiran yang sempit, terkotak-kotak, bercita rasa dangkal, munafik, tidak fair, tidak jujur, serakah, manipulatif, tidak cerdas, dan tidak dewasa.

Dalam bidang pendidikan, situasi tersebut mengakibatkan generasi muda, khususnya peserta didik, tidak mendapatkan tanah tumbuh dan iklim kesempatan untuk berkembang menjadi semakin cerdas dan manusiawi. Seluruh iklim masyarakat tidak menguntungkan untuk menjadi manusia cerdas berkarakter tinggi.

Romo Mangun menolak sistem pendidikan yang membuat anak menjadi seragam karena pendidikan yang menyeragamkan akan mengakibatkan dehumanisme pada diri anak. Pendidikan sejati, dalam arti yang humanis seperti yang dirintis generasi ’28, telah kehilangan makna dan menyimpang sejak Orde Baru yang sisa-sisanya masih ada sampai kini.

Kurikulum terselubung—tempat penguasa menyalurkan kemauan politiknya—dari TK sampai perguruan tinggi, adalah sistem komando, sistem taat, dan sistem hafalan kepada yang memberi instruksi. Meskipun dalam ketentuan kurikulum tingkat satuan pendidikan kegiatan pembelajarannya bisa dikembangkan di daerah masing-masing, tetap saja standarnya ditentukan secara terpusat dan diuji secara nasional. Anak hanya menjadi obyek yang mengabdi pada kepentingan penguasa. Suasana dialogis yang diharapkan terdapat dalam proses belajar-mengajar tidak terjadi karena yang dijalankan di dalam kelas adalah sistem komando, taat dan hapalan. Anak-anak menjadi kehilangan suara.

Model pendidikan penyeragaman hanya menghadirkan sosok dehumanis, kader-kader penghafal, pembeo, dan ”katak dalam tempurung”. Terjadi kesempitan cakrawala pandang yang pada gilirannya akan melahirkan fundamentalisme dan chauvinisme yang membentuk individu-individu fasis yang bermental penyamun, perompak, penggusur tak berperikemanusiaan, yang jelas-jelas menghambat kemajuan bangsa.

Dampak lain dari kesempitan pandangan adalah ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran: orang merasa enak saja berbohong, korupsi, dan sebagainya tanpa merasa bersalah. Sementara di kalangan muda semakin lenyap kemauan untuk berpikir luas, eksploratif, dan kreatif. Muncul rasa rendah diri yang disertai kecenderungan primordial yang pada gilirannya melunturkan rasa solidaritas kebangsaan.

Upaya SD Mangunan

Melalui eksperimen pendidikan di SD Mangunan, diimplementasikan konsep Pasca-Indonesia (PI) dan Pasca-Einstein (PE). Melalui implementasi konsep itu dalam eksperimen pendidikan terjadi tinjauan kritis atas dominasi pemerintah dan kebijakan kurikulum yang menyeragamkan, mendomestifikasi, menstupidifikasi, dan mendehumanisasi anak.

Nilai-nilai yang disampaikan Romo Mangun melalui penerapan konsep PI dan PE di SD Mangunan tentu berbeda dari nilai-nilai yang diterapkan negara melalui kurikulum. Budaya mayoritas yang terwujud dalam kurikulum tidak mendominasi kebiasaan (habitus) dan arena (field) anak-anak SD Mangunan karena mereka memiliki pengetahuan dan nilai budaya yang berbeda dari budaya massa mayoritas. Melalui penerapan konsep PI dan PE, budaya massa mayoritas tidak dapat ”dilanggengkan”.

Konsep habitus, menurut Bourdieu, adalah pembiasaan (pikiran, persepsi, aksi) dalam kondisi tertentu. Habitus membuat tindakan seorang individu menjadi sensible dan reasonable. Habitus adalah struktur subyektif (mental) di mana seorang agen menghasilkan tindakannya. Bourdieu menyebutnya sebagai disposisi terstruktur. Artinya, habitus adalah struktur kepatuhan atau kesiapsediaan seseorang untuk menghasilkan tindakan.

SD Mangunan adalah sebuah SD yang menghasilkan anak- anak yang kreatif, eksploratif-komunikatif, dan integral, juga telah menghasilkan berbagai desain pembelajaran, lembar kerja, materi pelajaran, alat peraga, dan berbagai pelajaran khas serta pola pengasuhan siswa yang berbeda dari budaya massa mayoritas. Hasil-hasil eksperimen itu merupakan nilai alternatif, khususnya jiwa kreatif, eksploratif-komunikatif, dan integral adalah sebuah habitus anak-anak SD Mangunan yang dipakai untuk mendekonstruksi kultur massa mayoritas.

Evolusi kebudayaan

Dalam pandangan Romo Mangun, pembaruan pendidikan perlu ditempatkan di dalam kerangka evolusi kebudayaan yang menjadi sasaran utama pendidikan adalah perubahan dan pembentukan sikap-sikap dan kebudayaan yang baru. Maka, yang paling mendesak adalah perbaikan secara menyeluruh dan intensif pendidikan dasar. Bukan sekadar perbaikan masalah teknis didaktik-metodik, melainkan juga hal-hal yang ideologis, strategis-paradigmatis.

Salah satu kunci terpenting dalam rangka mewujudkan pembaruan pendidikan dalam rangka evolusi kebudayaan semacam itu adalah faktor manusia yang secara formal dipercaya menjalankan peran sebagai guru. Selain memiliki penguasaan teknis, seorang guru lebih-lebih harus merupakan seorang pribadi humanis yang sudah mengalami pencerahan sehingga ia mampu mengembalikan situasi pendidikan yang menghargai ”anak sebagai anak”.

Mengapa penyiapan sosok manusia PI dan PE dipilih melalui sekolah dasar? Menurut Romo Mangun, ada beberapa alasan. Pertama, yang mendasar itu sekolah dasar. Jenjang sekolah dasar merupakan ekosistem dan basis yang strategis bagi evolusi kita sebagai bangsa.

Kedua, suatu sistem pendidikan sekolah dasar yang cocok bagi anak-anak miskin akan merupakan sejenis pengalaman baseline yang pasti bisa diterapkan bagi anak-anak yang kaya. Sebaliknya, sistem pendidikan sekolah dasar yang baik untuk anak-anak kaya belum tentu cocok diterapkan untuk anak-anak miskin.

Ketiga, kenyataan bahwa di kalangan seluruh penduduk negeri kita, mayoritas anak-anak mereka dalam jangka waktu cukup lama masih akan hanya mencapai jenjang sekolah dasar, tak mampu melanjutkan belajar ke jenjang-jenjang yang lebih tinggi.

A FERRY T INDRATNO Bekerja di Dinamika Edukasi Dasar, Yogyakarta

[ Kembali ]

Memihak yang Tersingkir

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 20 Maret 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/20/05252111/memihak.yang.tersingkir.

ST SULARTO

Yusuf Bilyarto Mangunwijaya dan Sutan Sjahrir sama-sama humanis. Mangunwijaya termasuk salah satu pengagum Sjahrir. Apresiasi Mangunwijaya yang disampaikan dalam berbagai kesempatan lisan maupun tulisan selalu merujuk Sjahrir.

Mangunwijaya dan Sjahrir memiliki filosofi dasar yang mirip. Kemanusiaan harus dibela dengan segala risiko. Perbedaannya, yang satu seorang rohaniwan, satunya lagi tidak begitu hirau dengan agama. Sjahrir yang humanis menjadi korban politik kekuasaan, sementara Mangunwijaya yang muncul kemudian menempatkan konflik politik Sjahrir vs Soekarno dalam ungkapan yang berimbang, secara tidak langsung merupakan nuansa humanisme. Bagi Romo Mangun, Sjahrir dan Soekarno adalah dua tokoh nasional yang saling memperkaya dan saling melengkapi.

Paham humanisme mempersatukan Sjahrir dan Mangun. Humanisme bukan paham yang monolitik, tetapi berbentuk dalam berbagai model kendati semuanya mengedepankan paham dimensi esensial manusia universal. Terbentang sejak gerakan humanisme Renaisans di Eropa abad ke-16 hingga ke-17, humanisme kosmopolitan, humanisme Pencerahan, hingga humanisme baru pascamodernisme, humanisme Mangunwijaya memungut unsur positif semua humanisme.

Praksis pendidikan, bidang yang bagi Romo Mangunwijaya merupakan bidang paling strategis untuk penghargaan harkat kemanusiaan diperkaya sisi-sisi positif humanisme. Dari humanisme Renaisans yang mengagungkan rasionalitas dia pungut hak dasar yang harus dimiliki setiap anak manusia, utamanya hak pendidikan dasar bagi anak miskin.

Sejalan dengan humanisme baru pascamodernisme dan Pencerahan, Mangun menekankan metode pendidikan yang mampu menumbuhkan dalam diri anak kesadaran tentang multidimensionalitas dan pluralitas. Metode yang dianjurkan adalah metode pencarian bersama, antara guru dan murid, metode pendidikan yang ditemukan dan disarankan oleh tokoh-tokoh seperti Freire, Ivan Illich, Montesori; sesuatu yang kemudian sebagai referensi praksis pendidikan yang dikembangkan SD Mangunan dengan laboratorium Dinamika Edukasi Dasar. Anak didik adalah subyek sekaligus obyek praksis pendidikan. Pilihan Romo Mangun menjadi salah satu penggagas-pemikir sekaligus praktisi pendidikan bagi anak miskin merupakan sesuatu yang tidak dipersiapkan secara sengaja. Dia memasuki wilayah itu sebagai semacam serendipitas (serendipity) atau kecelakaan di tengah pergulatannya mendampingi rakyat kecil.

Konsep kegunaan

Ketika praksis pendidikan menjadi salah satu lahan pengembangan humanisme, konsep arsitektur dia bongkar tidak sekadar hasil rekayasa bangunan, melainkan dengan konsep guna dan citra. Dia tekankan fungsi sebuah bangunan. Istilah arsitektur dia singkiri, diganti dengan istilah ”wastu” yang bermuatan lebih hakiki, menyeluruh, dan berkait langsung dengan pemanusiawian manusia. Konsep kegunaan menunjuk pada manfaat, keuntungan, dan pelayanan yang diperoleh dari bangunan.

Kebiasaan dan keberanian menggunakan bahan-bahan lokal seperti yang selalu dipraktikkan Romo Mangun, termasuk juga dalam memanfaatkan teknologi lokal menggunakan tenaga sekitar, dengan tidak meninggalkan sentuhan modern, dari sisi lain merupakan bentuk representasi lain keberpihakan pada peningkatan harkat manusia miskin. Ditempatkan dalam zaman kini, dengan penekanan kepentingan aspek ekonomi sebagai panglima, maka ada kecenderungan mengukur kemanusiaan dan arsitektur sebatas aspek ekonomi. Konsep ini, menurut Romo Mangun, berarti mereduksi aspek kehidupan yang seharusnya merupakan sesuatu yang utuh dan membangun relasi kebersamaan dengan sekitar.

Panelis yang arsitek sekaligus penerus fanatik gaya Mangunwijaya merefleksikan beberapa ciri yang disebutnya sebagai pesan sekaligus roh yang ingin disampaikan atas nama humanisme.

Obsesi kemanusiaannya tidak saja diwujudkan dalam konsep bangunan, gagasan, dan praksis pendidikan, tidak hanya lewat berbagai seminar dan khotbah di gereja, tidak hanya dalam novel-novelnya, tetapi juga dalam segala kegiatan praksis politik advokasi. Advokasinya untuk rakyat Kedungombo dan pinggir Kali Code menegaskan keberpihakan, termasuk dukungannya pada ide federalisme dan reformasi Indonesia.

Romo Mangun berpolitik, tidak berpolitik dalam arti mencari, membesarkan, dan melanggengkan kekuasaan sebagai virtue yang dianjurkan Machiavelli. Dalam berpolitik Romo Mangun menampilkan hati nurani sebagai bagian integral dari perpolitikan demi kesejahteraan umum, kemaslahatan, dan kebaikan bersama.

Semua kegiatan dan perjuangan Romo Mangun perlu dibaca sebagai keberpihakan yang tulus kepada manusia miskin, tersingkir, dan tergusur. Seorang panelis berspekulasi, sekiranya tidak berlatar belakang seorang rohaniwan, tidak mustahil ia menggunakan marxisme sebagai senjata untuk membela kaum tertindas. Karena iman Katolik-lah terutama, Romo Mangun mengkritik PKI, sebuah partai yang tidak pernah mau mengakui Sjahrir sebagai politikus yang bersih dan jujur.

Meski sangat kritis terhadap perkembangan negeri ini, Romo Mangun optimistis di tengah pesimisme rakyat kecil. Ia masih membayangkan pada tahun 1998, tanggal 26 Mei, beberapa hari setelah Soeharto melengserkan diri, membabak dua tahap Indonesia tampil sebagai negara besar setelah sekian tahun sia-sia membuang energi. Di usia 100 tahun Sumpah Pemuda, tahun 2020 dan 205 di usia 100 tahun Indonesia Merdeka, katanya, negeri ini akan mencapai a truly democratic Indonesia has taken shape. Semata-mata kemerdekaan politik tidak cukup. Kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan seluruh warga secara penuh dalam iklim demokrasi yang memberi keadilan kepada semua warga tanpa pilih kasih.

Warisan yang ditinggalkan, setelah 10 tahun Romo Mangunwijaya ”berangkat” adalah sebuah buku yang terbuka dengan halaman-halaman kosong untuk diisi oleh generasi kemudian; kalimat-kalimatnya masih koma, yang tidak saja perlu diperkaya, diaktualisasikan, tetapi juga perlu dilaksanakan. Tantangan atas dehumanisme ada di depan mata! Praktik pemerintahan yang kurang berpihak pada rakyat akan memperparah keterpinggiran kita, tidak saja oleh sisi negatif globalisasi anak kandung neoliberalisme tetapi juga oleh keterpicikan berseteru di antara kawan sendiri! Melik nggendong lali!

[ Kembali ]