Minggu, 24 Agustus 2008

Mungkinkah Jalan untuk Semua?

TOL
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 22 Agustus 2008

”Biasanya bulan kesembilan sudah hujan. Maka, sebelum bulan itu, gorong-gorong harus sudah selesai supaya air dapat mengalir dari selatan ke utara tol menuju sawah saya,” ujar Sarja, warga Desa Luwung Bata, Kecamatan Tanjung, Brebes, Jawa Tengah. Sawahnya tepat di tepi proyek Jalan Tol Kanci-Pejagan dan dia pun cemas tak mendapat air.

PT Semesta Marga Raya (SMR), selaku investor Tol Kanci-Pejagan (35 kilometer), menjadwalkan drainase selesai Oktober 2008. Bila jadwal bergeser, investor mungkin hanya perlu menambah ongkos. Sebaliknya, bagi Sarja, hal itu berarti pemiskinan.

Bila panen berhasil, Sarja berpotensi mendapat Rp 2,27 juta per bulan dari lahan sawah seluas 0,7 hektar (ha). Sekilas angka itu cukup besar. Namun, dengan dua masa tanam setahun, tentu saja Sarja harus berhemat.

Tol trans-Jawa memang mengonversi ribuan hektar lahan pertanian. Menyusuri proyek Tol Kanci-Pejagan, yang sedang masuk tahap pengerasan timbunan, jelas terlihat jalan tol membelah lahan pertanian. Dari 279,60 ha lahan yang dibebaskan untuk tol Kanci-Pejagan, sebanyak 95 persennya mengonversi lahan pertanian.

Adapun kebutuhan lahan untuk membangun tol dari Cikampek hingga Surabaya adalah 4.734 ha (644,20 km). Untuk menyamai Jalan Raya Daendels, setidaknya harus dibebaskan 5.540,46 ha (712,8 km), sudah dengan menambah lahan relokasi infrastruktur yang terendam lumpur Lapindo Brantas di kawasan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

Persoalannya, ketika lahan dibebaskan, ruang di sepanjang tol turut berubah, terutama dekat gerbang tol. Tidak jauh dari Gerbang Tol Kanci di Kabupaten Cirebon dapat disaksikan belasan penampungan batu bara mengonversi sawah-sawah subur.

Jalan tol trans-Jawa yang melewati Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan, Kabupaten Batang, dan Kabupaten Kendal juga memicu kekhawatiran banyak pihak.

Kepala Seksi Pemulihan Lingkungan Kantor Lingkungan Hidup Brebes Sobawi mengatakan, jalan tol pasti berdampak terhadap lingkungan. ”Saya telah memberi masukan kepada pemerintah pusat agar membangun saluran air dengan benar. Kalau tidak, akan terjadi banjir atau kekeringan karena air tak mengalir atau terserap,” kata Sobawi.

Menurut Sobawi, sangat ironis melebarkan jalan Anyer-Panarukan di Brebes karena berpeluang ditinggalkan pengguna yang beralih ke tol. Lahan milik Sobawi juga terpotong pelebaran jalan Anyer-Panarukan di Brebes.

Pergeseran ekonomi

Tak hanya petani. Tol trans- Jawa dikhawatirkan akan memindahkan pula sebagian kegiatan ekonomi dari Jalan Raya Pos. Misalnya, perajin telur asin di Brebes yang memasarkan dagangan kepada pelintas jalan pantai utara (pantura) Jawa.

Di Brebes kini terdapat 93 perajin telur asin, sebanyak 43 perajin berdagang di Kecamatan Brebes. Seorang perajin rata-rata mempekerjakan 4-10 orang. Ny Irawati, pemilik Toko Cahaya di Jalan Diponegoro, misalnya, seminggu menjual 8.000–10.000 butir telur asin. Penjualan melonjak hingga 15.000 butir bila liburan tiba dan pantura dipenuhi pelintas.

”Kalau ada tol, mungkin orang jadi jarang mampir. Penjualan pasti turun,” kata Irawati dengan pandangan mata menerawang jauh.

Selain industri batik dan telur, warung warga di sepanjang Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, juga terancam bangkrut.

Ana (35), pemilik warung kopi di Desa Surodadi, Kecamatan Gringsing, Kabupaten Kendal, adalah salah satu warga yang mengandalkan hidup dari penjualan nasi dan kopi. Pendapatannya tidak menentu. Terkadang mendapat Rp 50.000 dalam sehari, tetapi terkadang nihil, tidak ada rezeki sama sekali.

Ana kini cemas karena warung yang didirikannya sepuluh tahun lalu mungkin tidak laku bila tol selesai. Ana tak mungkin kembali ke sawah karena tak memiliki sawah lagi. Satu-satunya pilihan mungkin hanya menjadi buruh tani.

Kekhawatiran serupa dirasakan Marfuah (45), pedagang makanan di Gringsing, Kabupaten Kendal. Jalan tol trans-Jawa akan membuat para sopir truk, pelanggannya yang memberi rezeki selama delapan tahun lebih, menghilang. Padahal, Marfuah tak hanya menghidupi keluarga inti, tetapi juga keluarga besar, termasuk keluarga adik dan kakaknya.

Dalam skala lebih besar, Kota Cirebon adalah contoh sempurna dari matinya ekonomi setelah pembangunan tol. Terlebih, kota itu sendiri ternyata tidak mempunyai sektor ekonomi unggulan. Pelabuhan meredup, perdagangan tidak berkembang.

Cirebon yang dulu jadi perlintasan sehingga mendapat keuntungan dari pengguna jalan lambat laun dapat terlupakan sebab pengguna jalan boleh jadi memilih tol Palimanan-Kanci sebagai perlintasan.

Peluang baru

Lonceng kematian ekonomi kecil di jalan lama, sekaligus penanda kemunculan ekonomi baru. Bagi pengembang bermodal besar, tol adalah peluang baru untuk mengembangkan bisnis lain, seperti properti dan perdagangan di mulut tol atau area peristirahatan.

”Di dekat junction, persimpangan jalan tol, kami bangun perbelanjaan atau perumahan. Lalu, kami juga mengonservasi lahan hijau yang bisa dijadikan lokasi wisata,” kata Presiden Direktur PT Bakrieland Development Tbk Hiramsyah S Thaib.

Kelompok Bakrie mendapatkan konsesi untuk membangun hampir separuh ruas jalan tol trans-Jawa. Selain membangun jalan, mereka juga berancang-ancang membuka kawasan perdagangan dan properti di sepanjang lintasan jalan tol.

Sejajar dengan Jalan Raya Pos gagasan Daendels, Grup Bakrie akan membangun tol sepanjang total 265,5 km yang terbagi dalam lima ruas. ”Tidak dapat dihindari perubahan tata ruang, tetapi akan kami kelola. Supaya masyarakat tidak dimarjinalkan, kami akan kerja sama dengan Universitas Gadjah Mada dan Universitas Diponegoro untuk meneliti dampaknya. Masyarakat sekitar jelas akan dipekerjakan,” ujar Hiramsyah.

Sinergi antara pengembang properti dan pembangunan tol bukan hal baru. Jalan tol dari Pondok Aren menuju Serpong (7,5 km) dibangun PT Bintaro Serpong Damai sebagai akses ke perumahan Bintaro Jaya dan Bumi Serpong Damai.

”Sinergi bisnis model ini akan meningkatkan traffic,” ujar Presiden Direktur PT Pejagan-Pemalang Toll Road Harya Mitra Hidayat. Aksesibilitas sangat krusial bagi properti. Premis properti berbunyi, ”lokasi, lokasi, dan lokasi”.

Koko, pedagang yang kerap menyuplai dagangan ke Jakarta, menyatakan sangat mengharapkan tol selesai. ”Sebelum tol dari Banyuwangi ke Pasar Kramat Jati (Jakarta) ditempuh 24-26 jam. Mudah-mudahan setelah tol jadi hanya 15 jam,” ujar Koko.

Bila tidak melalui tol, Koko bakal rugi berlipat dari sisi waktu, kutipan jembatan timbang, pungli oknum DLLAJR, oknum polisi, dan preman. Biaya tinggi ini dapat mencapai 15-25 persen dari biaya sewa truk yang sebenarnya hanya Rp 4 juta.

Menurut Koko, harga beli jeruk nipis dari petani Banyuwangi sebesar Rp 6.000 kilogram (kg), sedangkan harga jual jeruk nipis di Kramat Jati sebesar Rp 8.000-Rp 9.000 per kg. Persoalannya, ketika ongkos transportasi turun akibat tol, akankah harga beli jeruk nipis dari petani dinaikkan ataukah sekadar memperbesar keuntungan pedagang seperti Koko.

Patut diteliti mendalam dampak tol terhadap pertumbuhan sebuah kota. Ketika tol Cipularang dibuka pada Mei 2005, diperkirakan ada lonjakan ekonomi di Bandung. Namun, produk domestik regional bruto Kota Bandung 2000-2006 menunjukkan, pertumbuhan ekonomi selalu berkisar pada angka 7,1-7,3 persen, artinya tidak ada lonjakan ekonomi yang istimewa setelah tol jadi.

Dibangunnya jalan baru adalah peluang. Masalahnya, peluang itu untuk siapa? Jika kemudian pembangunan hanya menguntungkan sedikit pemodal berkantong tebal dan mematikan peluang usaha rakyat berkantong cekak, pastinya akan muncul pemiskinan. (ryo/aik/nel/naw/nit)

[ Kembali ]

Tidak ada komentar: